Rabu, 06 April 2011

MENANGGULANGI DAMPAK NEGATIF TELEVISI

Oleh : ENDAR RINI

Televisi : bagai pisau bermata dua
Kita tentu sudah tidak asing dengan kotak hitam yang disebut televisi, bahkan sudah sangat akrab dengan benda yang satu ini. Banyak dari kita yang sanggup berjam – jam nongkrong di depan televisi, ada juga yang menyediakan ruang khusus untuk menonton televisi. Namun sadarkah kita kalau ternyata kebanyakan tayangan televisi Indonesia saat ini lebih banyak yang negatif daripada yang positif.
Tayangan yang positif adalah tayangan yang sehat, menghibur sekaligus mendidik, seperti berita dan sedikit sinetron yang sehat dan menghibur. Sedangkan tayangan yang negatif adalah tayangan yang memuat / mengandung kekerasan, mistik, seks ( pornografi dan pornoaksi ), serta gaya hidup / budaya hedonis, materialis dan permisif. Muatan kekerasan antara lain terdapat pada berita kriminal, dimana pengelola TV beranggapan semakin menonjolkan kekerasan dan darah akan semakin seru. Tayangan yang berbau mesum antara lain “ Fenomena “ dan “ Komedi Malam “ yang tayang di Trans TV, dan juga acara Talk Show yang cenderung seronok, seperti “ Empat Mata “ ( tayang di Trans7 ), kevulgarannya terdapat pada adegan maupun perkataan pembawa acara / bintang tamunya. Adapun sebagian besar acara TV didominasi sinetron yang kebanyakan bertema mistik, kekerasan, percintaan yang menjurus pada perzinahan, perebutan harta atau kemewahan. Bahkan ada beberapa sinetron yang diperankan artis yang masih di bawah umur dengan tema yang sama, seperti My Love dan Heart Series yang tayang di layar SCTV.
Tayangan – tayangan negatif tersebut ternyata sangat berpengaruh pada perilaku, sikap, dan pola pikir pemirsanya, bukan hanya bagi anak – anak atau remaja tetapi juga orang dewasa. Banyaknya kasus penganiayaan, pelecehan seksual dan tindakan negatif lain yang terinspirasi dari tayangan TV adalah buktinya.

Rating yang berkuasa.
Kalau ditanya sadarkah para pengelola TV bahwa acara – acara semacam itu ( yang telah disebutkan di atas ) bisa merugikan pemirsa, terutama anak – anak dan remaja ?. Jawabannya mungkin “ iya “, tetapi acara tersebut tetap mengudara dengan alasan acara yang mereka buat adalah selera publik, berdasarkan rating yang dikeluarkan lembaga survei. Rating itulah yang menjadi patokan pengelola TV dan biro iklan untuk memasang iklan pada sebuah program di televisi. Pengelola TV berkepentingan untuk mendapatkan rating yang tinggi untuk meyakinkan pemasang iklan. Seringkali ketika suatu program ditayangkan, publik menjadi kelinci percobaan terhadap tren. Pengelola TV beranggapan bahwa ini adalah bisnis, sehingga harus untung dan survive. Padahal TV adalah ranah publik, bukan sekedar institusi bisnis, TV punya tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Solusi / menaggulangi dampak negatif televisi.
Sebenarnya sudah ada KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ) yang diamanahi untuk mengatur industri penyiaran, televisi dan radio. Tetapi KPI seperti sapi ompong di depan pengelola TV. Berkali – kali KPI melayangkan peringatan kepada stasiun TV yang melanggar aturan, namun berkali – kali pila program baru muncul. Walaupun sudah ada peringatan dari pengelola TV dengan mencantumkan inisial BO ( Bimbingan Orang tua ) atau DW ( Dewasa ) di pojok layar TV, akan sia – sia saja jika orang tua sendiri tidak punya waktu untuk mendampingi anak – anak.
Jalan keluar yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan program TV Sehat / selektif dalam menonton TV, misalnya anak – anak hanya diberi waktu menonton tayangan anak dan pendidikan saja. Tetapi itupun masih menyisakan dampak negatif yang muncul dari tayangan iklan. Oleh karena itu peran LSM seperti MARKA ( Media Ramah Keluarga ) untuk mensosialisasikan program TV sehat pada mayarakat sangat diperlukan. Juga untuk mendorong masyrakat lebih kritis terhadap tayangan TV dan ikut mengontrol tayangan TV dengan melakukan protes keras, sedikit banyak akan mempengaruhi para pengelola TV dalam menentukan program yang akan ditayangkan.
Atau mungkin dengan menyingkirkan TV sama sekali dari rumah atau No TV, merupakan solusi yang baik dan tegas. Ada beberapa keluarga yang ternyata bisa hidup tanpa TV, antara lain keluarga Teguh Juwarno ( mantan praktisi TV ), dan keluarga M. Fauzhil Adhim ( Penulis buku keluarga ). Walaupun tanpa TV, anak – anak mereka tetap bisa tumbuh normal, bahagia, percaya diri, dan punya kepedulian terhadap sesama. Memang peran orang tua disini sangat penting untuk dapat kreatif memberikan alternatif hiburan dan permainan bagi anak – anaknya, antara lain dengan mengakrabkan buku dan komputer pada anak – anak sejak kecil, bernyanyi, menari dan berolah raga bersama, permainan seperti ular tangga / scrable, berkebun, memancing, main sandiwara, menggambar / melukis, mendongeng dan sebagainya.
Jadi dengan melihat begitu banyak dampak negatif televisi, apakah memang benar sudah saatnya TV enyah dari rumah kita ? Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: