Minggu, 29 Agustus 2010

HAK DAN KEBEBASAN BERAGAMA (Dalam Perspektif Islam, DUHAM dan keindonesiaan) Oleh: H.Hamid Fahmy Zarkasyi PhD


In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme
is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today
is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man
..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom
in the context of a traditional civilization such as Islam.
S.H.Nasr

1. Pendahuluan
Topik kebebasan dan hak azasi manusia adalah topic yang universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius. Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Ketika humanisme memaknai kebebasan beragama standar kebebasannya tidak merujuk kepada agama sebagai sebuah institusi dan ketika agama memaknai kebebasan ia menggunakan acuan internal agama masing-masing dan selalunya tidak diterima oleh prinsip humanisme. Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama. Makalah ini akan mencoba mengelaborasi makna hak dan kebebasan dari perspektif Islam, DUHAM dan perundang-undangan di Indonesia.

2. Problem Deklarasi Universal HAM
Salah satu prestasi kemanusiaan terbesar setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu di susun oleh segelintir orang, tidak representative dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia. Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya nampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. Perkembangan selanjutnya adalah revisi Deklarasi pada ulang tahun ke 50 Deklarasi dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies di universitas McGill, Montreal. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Acara ini dilanjutkan di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris pada acara UNESCO. Dan yang terakhir adalah di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Pertemuan terakhir itu menghasilkan usulan baru Deklarasi Universal dengan beberapa komentar yang merepresentasikan dunia agama. Ini sekedar menunjukkan bahwa Deklarasi yang dianggap “Universal” itu ternyata masih belum mengakomodir aspirasi agama-agama. Ini berarti bahwa diperlukan suatu Deklarasi yang adil, yang memberi hak dan pegakuan kepada individu dan juga kelompok khususnya institusi agama dan Negara untuk memberi makna tentang hak, kebebasan, moralitas, keadilan dan kehormatan sekaligus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang beradab.
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Konon Muhammad Zafrullah Khan dari Pakistan dan Jamil al-Barudi dari Saudi Arabia telah memperdebatkan pasal ini. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim. Persoalan yang mengemuka kemudian hingga kini adalah apakah sikap Muslim secara individu dan kolektif terhadap pasal-pasal Deklarasi HAM yang bertentangan dengan ajaran dasar agamanya? Apakah Deklarasi HAM juga telah memberikan Muslim secara kolektif atau institusional hak dan kebebasan melaksanakan agamanya.
Selain dari sisi materi, persoalan yang lain adalah tentang kekuatan hukum Deklarasi HAM diatas. Apakah Deklarasi ini mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Terdapat sedikitnya empat pandangan dalam hal ini. Pertama, yang menganggap adanya kekuatan hukum Deklarasi tersebut secara internasional. Yang berarti mengikat seluruh anggota PBB, karena ini merupakan kelanjutan dari Charter PBB; kedua, deklarasi ini bertentangan dengan pasal 2(7) Charter PBB mengenai kedaulatan Negara. Ketiga, karena HAM dan kebebasan bukan masalah internal Negara tapi merupakan urusan internasional maka undang-undang disetiap Negara harus disesuaikan dengan norma-norma HAM. Keempat, deklarasi hanya diputuskan oleh PBB dan karena itu secara hukum tidak mengikat. Mengingat bahwa Negara-negara itu mempunyai kedaulatan dan batasannya sendiri tentang HAM dan kebebasan, maka alternatif keempat adalah nampaknya ini yang lebih cocok untuk Negara, dan mungkin juga agama-agama.

Jikapun Deklarasi itu mengikat (karena telah didukung oleh UU No.12 tahun 2005), masalahnya kini masuk kedalam penafsiran arti kebebasan dalam Deklarasi HAM dan juga Undang-undang. Dalam penafsiran mengenai HAM ini terdapat sekurangnya empat aliran pemikiran: yaitu: Pandangan Universal Absolut, Pandangan Universal Relatif, Pandangan Partikularistis Absolut, dan Pandangan Partikularistis Relatif. Menurut Prof. Muladi dan Masyhur Effendi yang sesuai dengan kondisi Indonesia maupun negara-negara dunia ketiga adalah konsep partikularistis relatif. Sebab paham tersebut dinilai lebih mengedepankan aspek nasionalisme dan lokalistik sebagai bentuk keragaman yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi dalam konstalasi penegakan HAM. Selain itu, paham ini juga menyadari pentingnya menghargai sistem hukum dan nilai masing-masing bangsa sebab bagaimanapun hakekat keberadaan suatu bangsa tercermin dari sistem nilai dan hukum yang lahir berdasarkan sense of law, justice value, dan customery law dari masyarakat itu sendiri. Jadi hukum yang baik dengan segala institusinya menurut aliran historis yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny tidak lain adalah sistem hukum yang terbangun dari jiwa bangsa itu sendiri. Jika kita menganut pandangan partikularistis Relatif maka makna kebebasan yang dilontarkan dalam Deklarasi HAM dapat disesuaikan dengan Negara atau institusi agama masing-masing.

3. Islam, Kebebasan dan HAM
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dan Hak Asasi Manusia, ia bahkan sangat menghormati hak dan kebebasan manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam. Yang pertama adalah Universal Islamic Declaration of Right, diadakan oleh sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam dalam sebuah Konferensi di London tahun 1981 yang diikrarkan secara resmi oleh UNISCO di Paris. Deklarasi itu berisi 23 pasal mengenai hak-hak asasi manusia menurut Islam.
Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990 (1411). Dari pendahuluan Deklarasi itu dapat disarikan menjadi beberapa poin diantaranya adalah bahwa 1) Islam mengakui persamaan semua orang tanpa membedakan asal-usul, ras, jenis kelamin, warna kulit dan bahasa, 2) persamaan adalah basis untuk memperoleh hak dan kewajiban asasi manusia, 3) kebebasan manusia dalam masyarkat Islam consisten dengan esensi kehidupannya, sebab manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan bebas dari tekanan dan perbudakan, 4) Islam mengakui persamaan antara penguasa dan rakyat yang harus tunduk kepada hukum Allah tanpa diskrimasi, 5) warganegara adalah anggota masyarakat dan mempunyai hak untuk menuntut siapapun yang mengganggu ketentraman masyarakat. Deklarasi itu terdari dari 25 pasal yang mencakup masalah kehormatan manusia, persamaan, manusia sebagai keluarga, perlunya kerjasama antar sesama manusia tanpa memandang bangsa dan agamanya, kebebasan beragama, keamanan rumah tangga, perlunya solidaritas individu dalam masyarakat, pendidikan bukan hak tapi kewajiban, perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan, dan lain sebagainya.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin:
1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70)
2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia. (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate / fitrah).
3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya.
4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah.
5) HAM dalam Islam tidak absolute karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.

Selain itu Liga Arab pada 15 September 1994 dalam pertemuannya di Cairo Mesir, mengeluarkan sebuah Charter yang disebut Arab Charter of Human Right. Charter ini terdiri dari 39 Pasal yang menyangkut berbagai hal yang lebih lengkap dari apa yang terdapat dalam DUHAM.
Dalam kaitannya dengan kebebasan yang merupakan bagian terpenting dari hak asasi manusia, Islam dengan jelas telah memposisikan manusia pada tempat yang mulia. Manusia adalah makhluk yang diberi keutamaan dibanding makhluk-makhluk yang lain. Ia diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan. Ia diciptakan menurut image (Surah) Tuhandiberi diberi sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Tuhan. Selain diberi kesempurnaan ciptaan manusia juga diberi sifat fitrah, yaitu sifat kesucian yang bertendesi mengenal dan beribadah kepada Tuhannya, serta bebas dari tendensi berbuat jahat. Sifat jahat yang dimiliki manusia diperoleh dari lingkungannya. Dengan keutamaannya itu manusia yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30; 20:116). Oleh sebab itu manusia mengemban tanggung jawab terhadap Penciptanya dan mengikuti batasan-batasan yang ditentukanNya. Untuk melaksanakan tanggung jawabnya itu manusia diberi kemampuan melihat, merasa, mendengar dan yang terpenting adalah berfikir. Pemberian ini merupakan asas bagi lahirnya ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Ilmu pengetahuan, dalam Islam, diposisikan sebagai anugerah dari Tuhan dan dengan ilmu inilah manusia mendapatkan kehormatan kedua sebagai makhluk yang mulia. Artinya manusia dimuliakan Tuhan karena ilmunya, dan sebaliknya ia akan mulia disisi Tuhan jika ia menjalankan tanggung jawabnya itu dengan ilmu pengetahuan.

Namun dalam masalah kebebasan hanya Tuhanlah pemiliki kebebasan dan kehendak mutlak. Manusia, meski diciptakan sebagai makhluk yang utama diantara makhluk-makhluk yang lain, ia diberi kebebasan terbatas, sebatas kapasitasnya sebagai makhluk yang hidup dimuka bumi yang memiliki banyak keterbatasan. Keterbatasan manusia karena pertama-tama eksistensi manusia itu sendiri yang relatif atau nisbi dihadapan Tuhan, karena alam sekitarnya, karena eksistensi manusia lainnya. Upaya untuk melampaui keterbatasan manusiawi adalah ilusi yang berbahaya. Berbahaya bukan pada Yang Maha Tak Terbatas, yaitu Tuhan, tapi pada manusia sendiri.

Kebebasan manusia dalam Islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh ahli fiqih, teolog, dan filosof. Bagi para fuqaha, kebebasan itu secara teknis menggunakan terma hurriyah yang seringkali dikaitkan dengan perbudakan. Seorang budak dikatakan bebas (hurr) jika tidak lagi dikuasai oleh orang lain. Namun secara luas bebas dalam hokum Islam adalah kebebasan manusia dihadapan hokum Tuhan yang tidak hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan tapi hubungan kita dengan alam, dengan manusia lain dan bahkan dengan diri kita sendiri. Sebab manusia tidak dapat bebas memperlakukan dirinya sendiri. Dalam Islam bunuh diri tidak dianggap sebagai hak individu, ia merupakan perbuatan dosa karena melampaui hak Tuhan.

Menurut para teolog kebebasan manusia tidak mutlak dan karena itu apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah sebatas apa yang mereka istilahkan sebagai ikhtiyar. Ikhtiyar memiliki akar kata yang sama dengan khayr (baik) artinya memilih yang baik. Istikaharah adalah shalat untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Jadi bebas dalam pengertian ini adalah bebas untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Sudah tentu disini kebebasan manusia terikat oleh batas pengetahuannya tentang kebaikan. Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, maka Tuhan memberi pengetahuan melalui wahyuNya. Orang yang tidak mengetahui apa yang dipilih itu baik dan buruk tentu tidak bebas, ia bebas sebatas kemampuan dan pengetahuannya sebagai manusia yang serba terbatas.

Para filosof tidak jauh beda dengan para teolog. Kebebasan dalam pengertian para filosof lebih dimaknai dari perspektif masyarakat Islam dan bukan dalam konteks humanisme sekuler. Para filosof juga memandang perlunya kebebasan manusia yang didorong oleh kehendak itu disesuaikan dengan Kehendak Tuhan yang menguasai kosmos dan masyarakat manusia, sehingga dapat menghindarkan diri dari keadaan terpenjara oleh pikiran yang sempit.
Meskipun berbeda antara berbagai disiplin ilmu namun semuanya tetap bermuara pada Tuhan. Namun yang penting dicatat para ulama dimasa lalu membahas masalah ini dengan merujuk kepada sumber-sumber pengetahuan Islam, yaitu al-Qur’an, hadith, ijma’, qiyas (akal) dan juga intuisi. Itulah sebabnya kebebasan dalam sejarah Islam dimaknai dalam konteks syariah. Meskipun telah terjadi konflik sesudah Khulafa al-Rasyidun antara penguasa dan ulama, namun syariah atau tata hukum Islam masih menjadi protective code yang mengikat masyarakat dan penguasa sekaligus. Disini ulama beperan dalam menjaga syariah ketika terjadi tindakan para khalifah yang berlawanan dengan hukum syariah, sehingga dalam situasi seperti itu kebebasan individu dijamin oleh syariah. Itulah prinsip-prinsip kebebasan dalam Islam yang disampaikan secara singkat (in cursory manner). Kini perlu dibahas makna kebebasan dalam kaitannya dengan HAM, khususnya kebebasan beragama.

Dalam kaitannya dengan HAM dewasa ini dua persoalan penting yang perlu dibahas adalah pertama kebebasan berfikir dan berekspresi, dan kedua kebebasan beragama. Kebebasan berfikir dan berekspresi mendapat tempat yang tinggi Islam. Namun berfikir dan berekspresi harus disertai keimanan kepada Tuhan, bukan berfikir bebas yang justru menggugat Tuhan seperti di Barat. Dalam al-Qur’an berfikir disandingkan dengan berzikir alias mengingat Tuhan. Selain itu kebebasan berekspresi atau dalam Islam disebut ijtihad, dibolehkan bagi yang memiliki otoritas keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Sebab innovasi dalam ilmu apapun tidak dapat dipisahkan dari otoritas keilmuan. Secara epistemologis kebebasan berfikir dan berekspresi dibatasi oleh pandangan hidup Islam (Worldview of Islam) yang secara konseptual dapat dirujuk kepada konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an yang dielaborasi oleh Hadith dan tradisi intelektual Islam. Jadi kebebasan berfikir dalam Islam harus berbasis pada epistemologi, ontologi dan aksiologi Islam. Sebab Islam sebagai woldview adalah sebuah cara pandang. Jika Islam dipandang dengan worldview selain Islam akan mengakibatkan kerancuan konseptual dan pada tingkat sosial akan mengakibatkan konflik berkepanjangan dalam memaknai dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Kebebasan beragama yang diberikan Islam mengandung sekurangnya tiga arti: Pertama bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi orang non-Muslim untuk memeluk agama Islam. Kedua, apabila seseorang telah menjadi Muslim maka ia tidak sebebasnya mengganti agamanya, baik agamanya itu dipeluk sejak lahir maupun karena konversi. Ketiga: Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sepanjang tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah. Karena masalah ini kini merupakan issu yang kini sedang mengemuka di negeri ini, maka perlu disoroti dalam dalam konteks DUHAM dan perundang-undangan yang berlaku.

4. Batasan Hak dan Kebebasan beragama
Dalam kontek keislaman dan keindonesiaan, hak dan kebebasan beragama telah dapat ditafsirkan dan diberi batasan sesuai dengan kondisi intern umat Islam dan bangsa Indonesia, sebagaimana Negara-negara Barat memberi batasan-batasan pada makna kebebasan beragama. Secara prinsipil tidak ada masalah antara Islam dan DUHAM, kecuali pasal 18 dan 16, namun pada tingkat praktis makna kebebasan itu perlu dibatasi agar terhindar dari konflik sosial. Dan untuk itu perundang-undangan di Indonesia telah siap dengan perangkat hukumnya.
A. Prinsip dan Dasar Hukum
a) Islam:
Prinsip Islam sudah jelas yaitu memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinan kepada orang lain. (QS. 2:256). Jika dalam suatu masyarakat atau pemerintahan Islam terdapat warga non-Muslim, maka mereka diberi kebebasan untuk memeluk agama masing-masing. Mereka dihormati dan tidak akan mendapat tekanan politik atau lainnya sedikitpun.
Dalam Deklarasi Cairo dinyatakan dalam Pasal 10 sbb: Islam adalah agama fitrah. Tidak ada paksaan yang diperbolehkan terhadap siapapun. Eksploitasi kemiskinan dan kebodohan manusia untuk mendorongnya berpindah dari satu agama kepada agama lain atau heterodoxy dilarang. Pada Pasal 18 : Setiap orang mempunyai hak untuk menjaga dirinya, agamanya, keluarganya kehormatannya dan hak miliknya.
b) Deklarasi “Universal” HAM
Pasal 18 : Setiap orang mempunyai hak kebebasan berfikir, berkeyaninan dan beragama; hak ini termasuk hak merubah agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk melaksanakan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, beribadah dan upacara (keagamaan) baik secara perorangan atau secara kelompok, sendirian atau didepan umum.
c) Undang-undang di Indonesia

Deklarasi ini ditetapkan pasal demi pasal oleh Undang-undang Republik Indonesia No.12 tahun 2005, tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dalam pasal 18 Dtetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat umum dan perlu penjabarn lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 masalah: 1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya benturan program antara satu agama dengan agama lain. 2) Hubungan kebebasan beragama pada pemeluk agama masing-masing. Ini menyangkut masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat penganut agama tsb dianggap menyimpang. 3) Hubungan kebebasan beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemiluk agama. 4) Hubungan kebebasan beragama dengan DUHAM. Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam agama.
Dalam pertanyaan problem diatas dapat dirumuskan begini:
1) Apakah setiap agama berhak dan bebas melaksanakan agamanya masing-masing meskipun harus berbenturan dengan pelaksanaan agama lain?
2) Apakah setiap penganut suatu agama berhak dan bebas menodai kesucian agamanya sendiri?
3) Apakah pemerintah berhak dan bebas mengatur agama-agama yang terdapat dalam kekuasaannya?
4) Apakah PBB melalui DUHAM berhak dan bebas mengatur kebebasan agama-agama di dunia?
Pertanyaan-pertanyaan itu jawabannya saling terkait dan intinya adalah satu yaitu apakah batas kebebasan bagi institusi agama, individu, Negara dan PBB untuk mengamalkan dan mengatur agama.
B. Batasan Hak dan Kebebasan Beragama
Hak dan kebebasan yang dimaksud diatas mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya. Namun hak dan kebebasan ini bukan kebebasan mutlak, sebab dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri.
Dalam Islam batasan lebih detail mengenai hak dan kebebasan beragama, berfikir dan berbicara dijelaskan dalam Deklarasi London sbb:
a. Setiap orang mempunyai hak untuk mengekspresikan pemikiran dan kepercayaannya sejauh dalam lingkup yang diatur dalam hukum. Namun tidak seorangpun berhak menyebarkan kepalasuan atau menyebarkan berita yang mungkin mengganggu ketentraman public atau melecehkan harga diri orang lain.
b. Mencari ilmu dan mencari kebenaran bukan hanya hak tapi kewajiban bagi Muslim.
c. Hak dan kewajiban Muslim adalah melakukan protes dan berjuang melawan penindasan, meskipun dalam hal ini harus melawan penguasa Negara.
d. Tidak ada batasan dalam menyebarkan informasi, asalkan tidak membahayakan keamanan masyarakat dan Negara dan masih dalam lingkup yang dibolehkan oleh hukum.
e. Tidak seorangpun berhak menghina atau melecehkan kepercayaan agama lain atau memprovokasi permusuhan public; menghormati kepercayaan agama lain adalah kewajiban bagi Muslim.
Meskipun Deklarasi London telah cukup jelas namun keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAM, bahwa implementasi kebebasan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan, ketertiban, maupun norma agama. Juga dalam pasal 70 UU yang sama lebih jelas lagi bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Sungguh merupakan hal yang tidak dapat disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya.
Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Untuk maksud tersebut maka kebebasan beragama perlu dirasionalisasi atas dasar keseimbangan antara hak dan kewajiban. Oleh sebab itu Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas. Landasan hukum atau prinsip dasar yang mengatur kebebasan beragama termaktub dalam pasal 156 KUHPid, UU No I PNPS 1965, SKB Mendagri dan Menag. No 1 tahun 1969 dan SK Menag No 70 tahun 1978 yang isinya adalah sbb :
a. Setiap orang berhak untuk memeluk suatu agama, yang berarti:
- Setiap orang atas kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau paksaan.
- Setiap orang hanya boleh menganut satu agama, tetapi tidak bebas menganut dua agama atau lebih sekaligus.
- Setiap penganut suatu agama bebas mengembangkan dan menyebarkan ajaran agamanya, tetapi tidak bebas mengembangkan atau menyebarkan ajaran agamanya kepada orang yang telah menganut agama lain dengan paksaan atau cara lain yang tidak bersandarkan kepada keikhlasan/kesadaran murni.

b. Setiap penganut agama bebas menjalankan ajaran agamanya, yang berarti
- Bebas tanpa gangguan, halangan, pembatasan dari pihak manapun untuk beribadah menurut ajaran agamanya, tetapi tidak bebas menjalankan ibadah yang menimbulkan gangguan, ketidaknyamanan, apalagi yang bersifat penghinaan, penistaan atau penodaan terhadap penganut ajaran agama lain.
- Bebas mengembangkan dan memelihara hakekat ajaran agama yang dianut, tetapi tidak bebas membuat penyimpangan, merusak/mengacak-acak ajaran agama/kepercayaan orang lain.

c. Setiap penganut agama bebas mendirikan rumah ibadah masing-masing yang berarti :
- Bebas membuat rancangan bangunan, model, eksterior dan interior, tapi tidak bebas membuat rancangan bangunan yang persis menyerupai bentuk rumah ibadah agama lain
- Bebas membangun di atas tanah/tempat yang sah dan patut , tetapi tidak bebas membangun rumah ibadah disembarang tempat termasuk tempat ibadah yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan

Pembatasan kebebasan beragama juga dilakukan oleh negara-negara Barat sekuler yang mengaku telah melaksanakan HAM dengan baik. Di Eropa saat ini izin pendirian masjid dibatasi. Di negara-negara Barat (Eropah dan Amerika) sendiri yang dikenal sebagai kampiun demokrasi, ada ketentuan yang melarang masjid menggunakan pengeras suara. Bahkan di Inggeris siswa-siswa Muslim yang belajar di sekolah negeri tidak mudah melaksanakan shalat di sekolahnya. Pemerintah Perancis hingga kini tidak membolehkan jilbab digunakan bagi pelajar dalam sekolah-sekolah negeri setempat. Dan banyak lagi yang tidak perlu disebutkan disini.

Ini berarti negara-negara sekuler sekalipun masih perlu mengatur kebebasan beragama. Akan tetapi antara Indonesia dan negara-negara Barat sekuler berbeda. Jika di negara Barat agama diatur agar tidak masuk keruang publik, di Indonesia justru karena agama itu masuk kedalam ruang publik. Muslim yang menjadi penduduk terbesar di Indonesia melaksanakan agamanya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Ketika Muslim mendirikan Bank Syariah, maka negara terpaksa ikut mengatur dan menertibkannya. Dari sisi lain hak negara Indonesia mengatur agama dapat ditelusur dari falsafah Negara Indonesia yang landasan kehidupan berbangsa dan bermasyarakatnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (sila I Pancasila). Artinya asas keadilan, kemanusiaan, kemakmuran dan lain-lain bangsa Indonesia ini kembali kepada asas ketuhanan agama-agama yang ada di Indonesia. Disinilah poinnya bahwa sistim ketatanegaraan kita berbeda dari sistem sekuler Barat yang menjauhkan unsur agama dari kekuasaan. Kita justru menjadikan agama sebagai prinsip kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dari sisi prinsip-prinsip HAM ketertiban hak kebebasan beragama ini masuk ke ranah hak sipil dan hak politik. Ini berarti pengaturan tentang kebebasan beragama turut menjadi bagian dari kewenangan Negara. Artinya negara memiliki legitimasi untuk mengatur persoalan agama termasuk kebebasan beragama.

Kesimpulan
Hak dan Kebebasan beragama harus dimaknai dalam konteks agama dan Negara masing-masing dan tidak dapat dimaknai secara mutlak tanpa batasan. Untuk mengatasi konflik berkepanjangan antara DUHAM dan agama-agama diperlukan penjelasan lebih detail oleh masing-masing agama itu tentang prinsip-prinsip kemanusiaan dan kebebasan. Disisi lain DUHAM perlu mengakomodir kekhususan Negara-negara dan institusi agama dalam menafsirkan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan. Dengan cara ini yang satu tidak mengorbankan yang lain. Sudah tentu dalam hal ini peran institusi dan otoritas agama sangat sentral. Jika terjadi konflik antara tuntutan HAM dan umat beragama, atau antar umat bergama atau antar pemeluk dalam satu agama, maka Negara berkewajiban mengatur dan mengakurkan keduanya dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga resmi agama-agama tersebut.


Jakarta, 9 Juli 2008

Jumat, 13 Agustus 2010

10 Keutamaan Ilmu dibanding Harta


1. lmu adalah pusaka para nabi sedangkan harta adalah pusaka Qarun, Sada, Fir’aun
2. Ilmu menjaga dirimu, sedangkan harta malah engkau yang menjaganya
3. Pemilik harta musuhnya banyak, sedangkan pemilik ilmu temannya banyak
4. Harta bila dibelanjakan akan berkurang, sedangkan pemilik ilmu justru malah bertambah
5. Pemilik harta dipanggil dengan sifat bakhil dan cercaan, sedangkan pemilik ilmu dipanggil dengan nama keagungan dan kemuliaan
6. Harta perlu dijaga dari pencuri, sedangkan ilmu tidak perlu kemuliaan
7. Pemilik harta kelak diakhirat akan dihisa, sedangkan ilmu akan diberi syafa’at
8. Harta akan berkarat karena lama disimpan, sedangkan ilmu tidak akan berkarat dan tidak rusak karena umur
9. Harta bias mengeraskan hati, tetapi ilmu bias menerangi hati
10. Pemilik harta bias mengaku-ngaku sebagai tuhan lantaran hartanya, sedangkan pemilik ilmu mengaku sebagai hamba

Selasa, 10 Agustus 2010

Konsep Ilmu Dalam Islam


Islam sangat menghargisekali ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat al­ Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Al­Qur’an, al­Hadits dan para sahabat menyatakan supaya mendalami ilmu pengetahuan.

Allah berfirman yang artinya : “Katakanlah “Apakah sama, orang­orang yang mengetahi dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang­orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.” Allah juga berfirman yang artinya : « Allah mengangkatorang­orang yang beriman daripada kamu dan orang­orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. »

Selain al­Qur’an, Rasulullah saw juga memerintahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw juga menyatkan orang yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya sama seperti seorang yang sedangberjihad di medan perjuangan.

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat barang perhiasan orang lain.”(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban.

Rasulullah saw juga bersabda:
“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.” (HR. Timidzi).

Rasulullah saw juga bersabda:
”Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke salah satu jalan di antara jalan­jaan surga, dan sesungguhnya malaikat benar­benar merendahkan sayap­sayapnya karena ridha terhadappenuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar­benar akan dimintakan ampun olehmakhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan­ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atasseluruh bintang­bintang yang ada. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, maka hendaklah dia mengambil bagian yang banyak.” (Hr. Abu Daud).


Selain al­Qur’an dan al­Hadist, para sahabat juga menyatakan bahwa sangat penting bagi kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Ali bin Abi Talib ra., misalnya berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa­jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”

Mu’az bin Jabal ra. mengatakan:
“Tuntutlah ilmu, sebab menuntutnya untuk mencari keridhaan Allah adalah
ibadah, mengetahuinya adalah khasyah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya
kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah dan mendiskusikannya adalah tasbih. Dengan ilmu, Allah diketahui dan disembah, dan dengan ilmu pula Alah diagungkan dan ditauhidkan. Allah mengangkat (kedudukan) suatu kaum dengan ilmu, dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan Imam bagi manusia, manusia mendapat petunjuk melalui perantaraan mereka dan akan merujukkepada pendapat mereka.”

Abu al­Aswad al­Duali, murid Ali bin Abi Talib mengatakan:
“Para raja adalah penguasa­penguasa (yang memerintah) manusia, sedangkan
para ulama adalah penguasa­penguasa (yang memerintah) para raja.”

Selain pentingnya ilmu, para ulama kita juga memadukan ilmu dengan amal, fikir
dan zikir, akal dan hati. Kondisi tersebut tampak jelas dalam contoh kehidupan para ulama kita, seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Bukhari. Al­Hakam bin Hisyam al­Tsaqafi mengatakan: “Orang menceritakan kepadaku di negeri Syam, suatu cerita tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan Negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih siksaan daripada siksaan Allah Ta’ala.”

Al­Rabi mengatakan: “Imam Syafi‘i menghkatamkan al­Qur’an misalnya,
dalam bulan Ramadhan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.

Imam Bukhari menyatakan: “Aku tidak menulis hadist dalam kitab Sahih kecuali aku telah mandi sebelum itu dan telah shalat dua rakaat”

Bukan saja dalam ilmu­ilmu agama, ulama kita yang berwibawa telah
mewariskan kita berbagai karya yang sehingga kini masih selalu kita rasakan manfaatnyaDalam bidang ilmu pengetahuan umum pun, para pemikir Muslim terdahulu sangat berperan. Al­Khawarizmi, Bapak matematika, misalnya, dengan gagasan aljabarnya telah sangat mempengaruhi perkembangan ilmu matematika. Tanpa pemikiran al­Khawarizmi, tanpa sumbangan angka­angka Arab, maka sistem penulisan dalam matematika merupakan sebuah kesulitan. Sebelum memakai angka­angka Arab, dunia Barat bersandar kepada sistem angka Romawi. Bilangan 3838, misalnya, jika ditulis dengan sistem desimal atau angka Arab, hanya membutuhkan empat angka. Namun, jika ditulis dengan angka Romawi, maka dibutuhkan tiga belas angka, yaitu MMMDCCCXLVIII. Demikian juga ketika dalam bentuk perkalian. 34 kali 35 akan lebih mudah mengalikannya jika dibanding dengan XXXIV dan XXXV.

Terbayang oleh kita betapa rumit, dan bertele­telenya sistem penulisan angka Romawi. Dengan penggunaan angka­angka Romawi, maka akan banyak memakan waktudan tenaga untuk mengoperasikan sistem hitungan. Seandainya dunia Barat masih berkutat dengan menggunakan angka Romawi, tentunya mereka masih mundur. Sebabnya, angka Romawi tidak memiliki kesederhanaan. Namun, disebabkan sumbanganangka­angka Arab, disebabkan sumbangan pemikiran al­Khawarizmi, maka pengerjaan hitungan yang rumit pun menjadi lebih sederhana dan mudah. Menarik untuk dicermati, al­Khawarizmi menulis karyanya dalam bidang matematika karena didorong oleh motivasi agama untuk menyelesaikan persoalan hukum warisan dan hukum jual­beli.

Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina. Ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al­Hasil wa al­Mahsul yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al­Shifa (Penyembuhan), 18 jilid; al­Qanun fi al­Tibb (Kaidah­Kaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al­Insaf (Pertimbangan), 20 jilid; al­Najat (Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al­’Arab (Bahasa Arab), 10 jilid. Karyanya al­Qanun fi al­Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di
Toledo Spanyol pada abad ke­12. Buku al­Qanun fi al­Tibb dijadikan buku teks rujukan
utama di universitas­universitas Eropa sampai abad ke­17.

Disebabkan kehebatan Ibn Sina dalam bidang kedokteran, maka para sarjana Kristen mengakui dan agum dengan Ibn Sina. Seorang pendeta Kristen, G.C. Anawati, menyatakan: “Sebelum meninggal, ia (Ibnu Sina) telah mengarang sejumlah kurang lebih 276 karya. Ini meliputi berbagai subjek ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, musik, syair, teologi, politik, matematika, fisika, kimia, sastra, kosmologi dan sebagainya.”

Disebabkan kehebatan kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan, maka
sebenarnya pada zaman kegemilangan kaum Muslimin, orang­orang Barat meniru
kemajuan yang telah diraih oleh orang­orang Islam. Jadi, kegemilangan Barat saat ini tidak terlepas daripada sumbangan pemikiran kaum Muslimin pada saat itu. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Barat.

Selain itu, para ulama kita dahulu menguasai beragam ilmu. Fakhruddin al­Razi
(1149­1210), misalnya, menguasai al­Qur’an, al­Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab,perbandingan agama, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Bukan hanya al­Qur’andan al­Hadits yang dihafal, bahkan beberapa buku yang sangat penting dalam bidang usulfikih seperti al­Shamil fi Usul al­Din, karya Imam al­Haramain al­Juwayni, al­Mu‘tamad karya Abu al­Husain al­Basri dan al­Mustasfa karya al­Ghazali, telah dihafal oleh Fakhruddin al­Razi.

Sumber : Adnin Armas, M.A.

Romadhon: Penguatan Kapasitas Ustadz/Ustadzah Bina Insani

Liburan awal Romadhon tahun ini LSU Bina Insani mengadakan penguatan kapasitas ustadz/ustadzah.
Penguatan kapasitas ini berlansung di gasebo SMP IT Logaritma Karanganyar pada hari selasa tanggal 10 agustus 2010 dan diikuti ustadz/ustadzah dari tingkat KB/TK, SD dan SMP yang ada di bawah naungan LSU Bina Insani. Selain kegiatan tersebut pada romadhon tahun ini juga direncakan dauroh pendidikan integratif bagi ustadz dan ustadzah dilingkungan LSU Bina Insani. Kegiatan kegiatan tersebut bertujuan memang untuk menguatkan kapasitas ruhiyah, aqliayah para ustadz dan ustadzah yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di LSU Bina Insani dalam menyiapkan generasi yang mampu membawa kepada peradaban yang lebih baik.

Senin, 09 Agustus 2010

Rapat Departemen Pendidikan dan Dakwah Bina Insani


Belum lama ini Depertemen Pendidikan dan Dakwah LSU Bina Insani mengadakan rapat kerja untuk mempersiapkan kegiatan di bulan Romadhon serta mendiskusikan kondisi pendidikan dilingkungan bina insani. Tampak hadir dalam rapat Ustad Bambang Purwanto yang sedang menyelesaikan pendidikan S2 nya di UMS , Ustadz Teguh yang baru saja menyelasaikan S2 di UNS Solo, Ustadz Hartono sebagai sekertaris departemen pendidikan dan dakwah bin insani, serta ikhwan dan ahkwat yang berkecimpung pada departemn pendidikan dan dakwah. Dari rapat ditempat yang sederhana tersebut telah menghasilkan banyak kesepakatan baik berkenaan dengan dakwah selama romadhon serta beberapa pemikiran untuk semakin memantapkan pendidikan integratif di lembaga pendidikan bina insani. Ada baiknya kedepan perlu menengok konsep pendidikan integratif yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan konsep ta'didnya.Konsep ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatana tawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam). Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam.

ADABUL MAJLIS

Mengetahui adab-adab dalam majelis adalah suatu keniscyaan dan keutamaan tersendiri sebagaimana firman Allah :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS Al Israa’ 17 : 36).

Sabda Nabi Muhammad Saw :

طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim”.

More...Maka adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk mengetahui ilmunya terlebih dahulu sebelum beramal, sebagaimana Imam Bukhari telah menjadikan bab

العام قبل القول والعمل

“Ilmu sebelum berkata dan beramal”.

Berikut ini adalah adab-adab dalam bermajelis :

1. Disunnahkan membuka majelis dengan khutbatul hajah.More...

2. Mengucapkan salam kepada ahli majelis jika ia hendak masuk dan duduk pada majelis tersebut, hendaknya ia mengikuti majelis tersebut hingga selesai. Jika ia hendak meninggalkan majelis tersebut, ia harus meminta izin kepada ahli majelis lalu mengucapkan salam. Sebagaimana Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

"Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya.
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).

3. Tidak menyuruh seseorang berdiri, pindah atau bergeser agar ia menempati tempat duduknya, dan selayaknya bagi ahli majelis yang telah duduk dalam majelis merenggangkan tempat duduknya, agar seseorang yang mendatangi majelis tadi mendapatkan tempat duduk. Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah :

لا يقيمن أحدكم رجلا من مجلسه ثم يجلس فيه, ولكن توسّغوا او تفسّحوا

" “Janganlah kalian menyuruh temannya bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi hendaklah kamu memperluasnya.” .
(Muttafaq ‘alaihi).

4. Tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk agar ia dapat duduk di tengah-tengahnya, kecuali dengan seizinnya, sebagaimana dalam hadits :

لا يحلّ لرجل أن يفرّق بين إثنين إلا بإذنها

"Tidak halal bagi seorang laki-laki duduk di antara dua orang dengan memisahkan mereka kecuali dengan izinnya.".
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

5. Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah telah menuturkan : Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).5. Apabila seseorang bangkit dari tempat duduknya meninggalkan majelis kemudian kembali lagi, maka ia lebih berhak duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw :

إذا قام احدكم من مجلس ثم رجع إليه فهو أحقّ به

“Apabila seseorang bangkit dari duduknya lalu ia kembali, maka ia lebih berhaq duduk di tempatnya tadi.”
(HR Abu Dawud dan Turmudzi, hadits Hasan)

6. Tidak duduk di tengah-tengah halaqoh/majelis, dalilnya :

أنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم لعن من جلس في وسط الحلقة

“Rasulullah Saw melaknat orang yang duduk di tengah-tengah halaqoh.”
(HR. Abu Dawud)

7. Menghormati Majelis. Termasuk dalam hal ini dengan tenang dan sopan, tidak terlalu banyak berbicara, bersenda gurau ataupun berbantah-bantahan yang sia-sia. Juga tidak berbicara dua orang saja dengan berbisik-bisik tanpa melibatkan ahli majelis lainnya.

8. Tidak memandang ajnabiyah (wanita bukan mahram), berbasa-basi dengannya, ataupun melanggar batas hubungan lelaki dengan wanita muslimah bukan mahram, baik kholwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram) maupun ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram).

9. Disunnahkan menutup majelis dengan do’a kafaratul majelis. Lafadhnya adalah sebagai berikut :

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لا إله إلا أنت أستغفرك وآتوب إليك

“Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(HR. Turmudzi, Shahih).

Adab Mencari Ilmu

Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Ada beberapa hal atau adab yang harus diketahui bagi sang pencari ilmu, sehingga ilmu yang diperoleh bermanfaat, berkah, dan mendapat ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Beberapa adab yang perlu diketahui bagi sang pencari ilmu adalah sebagai berikut :
1. Iklas
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam " Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya..." (Hadist, Riwayat Bukhari).
Imam Nawawi menyatakan, para ulama memiliki kebiasaan menulis Hadist ini diawal pembahasan, guna mengingatkan para pencari ilmu agar meluruskan niat mereka sebelum menelaah kitab.

2. Mengutamakan yang Wajib
Hendaknya penuntut ilmu mengutamakan ilmu yang hukumnya fardhu ain untuk dipelajari terlebih dulu, semisal masalah aqidah, halal haram,dan kewajiban yang dibebankan kepada muslim, maupun larangannya.

3. Meninggalkan yang tidak Bermanfaat
Tidak semua ilmu boleh dipelajari, karena ada ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat, bahkan bisa menjerumuskan orang yang mempelajarinya kepada keburukan, misal; ilmu sihir.

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setanlah yang kafir yang mengerjakan sihir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut..." (Q. Al-Baqarah 102)

4. Menghormati Ulama
Rasulullah SAW. bersabda, " Barang siapa menyakiti waliku, maka Aku telah mengumandangkan perang kepadanya" (Hadist Riwayat Bukhari)
Imam Syafi'i dan Imam Hanifah menafsirkan yang dimaksud wali dalam hadist itu adalah para ulama. Sehingga jangan sampai seorang penuntut ilmu melecehkan mereka, karena perbuatan itu mengundang murka dari Allah SWT.

5. Tidak Malu
Sifat malu dan gengsi bisa menjadi penghalang seseorang untuk memperoleh ilmu. Karena itu para ulamamenasehati agar kedua sifat itu ditinggalkan dalam menuntut ilmu, hingga pengetahuan yang bermanfaat bisa didapat.

6. Memanfaatkan Waktu
Hendaknya pencari ilmu tidak menyia-nyiakan waktu hingga terlewatkan waktu belajar. Ulama besar seperti Bukhari, bisa dijadikan contoh dimana beliau menyalakan lentera lebih dari 20 kali dalam semalam untuk menyalin Hadist yang telah beliau peroleh. Artinya beliau amat menghargai waktu, malam hari pun tidak beliau lewatkan kecuali untuk menimba ilmu.

7. Bermujahadah
Para ulama dahulu tidaklah bersantai-santai dalam mencari ilmu. Tentu kalau seorang muslim menginginkan memiliki ilmu sebagaimana ilmu yang mereka miliki, maka harus bersunggu-sungguh, seperti kesungguhan yang telah mereka lakukan.

Ada yang mengatakan kepada Imam Ahmad saat beliau terlihat tidak kenal lelah dalam mencari ilmu. "Apakah engkau tidak beristirahat?" Beliau hanya mengatakan, "Istirahat hanya di Surga"

8. Menghindari Maksiat
Nasihat Imam Al-Waqi' kepada Imam Syafi'i mengenai sulitnya menghafal sangatlah berharga. Imam Al Waqi' menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah SWT, sehingga tidak akan pernah bersatu dengan jiwa yang suka bermaksiat.

9. Mengamalkan Ilmu
Setiap ilmu yang dipelajari harus diamalkan. Para pencari ilmu hendaknya bersegera mengamalkan apa yang telah ia ketahui dan pahami, jika hal itu berkenaan dengan amalan-amalan yang bisa segera dikerjakan. Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan " Wahai pembawa ilmu, beramallah dengan ilmu itu, barang siapa yangsesuai antara ilmu dan amalannya, maka mereka akan selalu lurus". (Riwayat Ad Darimi)


Sumber : Suara Hidayatullah, Jumadistani 1430

Minggu, 08 Agustus 2010

7 Wasiat Rasulullah SAW

“Dari Abu Dzar ia berkata; “Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) beliau memerintahku agar aku melihat orang-orang yang di bawahku dan tidak melihat orang yang berada di atasku,
(3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahim dengan karib kerabat meski mereka berlaku kasar kepadaku,
(4) aku diperintahkan agar memperbanyak ucapan La haula walaa quwwata illa billah,
(5) aku diperintahkan untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,
(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah,
(7) belaiu melarang aku agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada manusia”
(Riwayat Ahmad).

Jumat, 06 Agustus 2010

Agenda Romadhon Lembaga Pendidikan Bina Insani


Dalam rangka menyambut datangnya bulan Romadhon, pada hari kamis bertempat di SD IT Logaritma telah diselenggarakan rapat dalam menyusun kegiatan amaliah romadhon dilingkungan lembaga pendidikan bina insani. Dari rapat tersebut disepakti kegiatan amaliah romadhon dilingkungan lembaga pendidikan bina insani meliputi :
1. Kegiatan untuk siswa
Kegiatan untuk siswa meliputi
1.1. Kegiatan reguler / semau proses belajar mengajar untuk mengitegrasikan nilai
nilai keislaman dilaksanakan secara penuh selama satu bulan.
1.2. Kegiatan khusus / pesantren kilat dilaksankan pada minggu terakhir romadhon
2. Kegiatan Untuk Ustadz/ustadzah
Kegiatan ini dititik beratkan pada peningkatan kualitas dan kapasitas Ilmu, Iman
dan Amal para ustadz/ustadzah dan laksanakan pada awal awal bulan romadhon
3. Kegiatan Untuk wali murid
Semua lembaga pendidikan dilingkunagan Bina Insani wajib melaksanakan kegiatan
romadhon bagi wali murid dimana kegaiatanya berkordinasi dengan departemen
pendidikan dan dakwah lsu bina insani

Kamis, 05 Agustus 2010

Kebijakan Penyusunan dan Pengelolaan APBS di Lingkungan LSU Bina Insani


Dalam menstandarkan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja sekolah ( APBS ) tahun anggaran 2010/2011 sekolah sekolah dilikungan LSU Bina Insani ( KB,TK,SD dan SMP ), belum lama ini diadakan pertemuan dan pembinaan kepada seluruh kepala sekolah di lingkungan Bina Insani. Pertemuan dilakukan di SMP IT Logaritma. Dalam kesempatan tersebut Ketua LSU Dra. Sriwinarti. MH menekankan untuk APBS tahun annggaran 2010/2011 penyusunanan dilakukan dengan mengedepankan prinsip efesiensi dan efektifitas anggaran dalam rangka peningkatan mutu layanan penddidikan. Pembahasan selanjutnya mengenai penyusunan APBS dipimpin oleh Mustika Aji ( sekertaris Bina Insani ). Dari pembahasan tersebut ada beberapa kebijakan pokok untuk penyusunan dan pengelolaan APBS tahun 2010/2011 antara lain :
1. Pendapatan sekolah
Semua satuan pendidikan dilingkungan Bina Insani untuk terus meningkatkan
pendapatan sekolah yang dilakukan secara sistematis dan terukur. Semua satuan
pendidikan juga harus melakukan inovasi dengan cara memperbesar pendapatan
sekolah dari usaha sekolah dan bantuan pemerintah serta bantuan pihak ketiga yang
tidak mengikat. Memberikan subsidi kepada siswa yang tidak mampu dan sumbsidi
antar lembaga pendidikan di lingkunagn LSU Bina Insani.
2. Belanja Sekolah
2.a. Belanja sekolah dilakukan secara efesien dan efentif dan diprioritaskan untu
kegiatan peningkatan mutu pendidikan
2.b. Mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kapasitas tenaga pendidikan
2.c. Menstandarkan biaya gaji dan honorarium
2.d. Mennggarkan biaya hari tua/ pensiun bagi setipa guru dan bekerjasama dengan
BMT Bina Insani
3. Pembiayaan sekolah
Setian satuan pendidikan untuk menganggarkan dana cadangan yang diperuntukan bagi
kegiatan infestasi yang membutuhkan biaya besar.

Minggu, 01 Agustus 2010

Administrasi Negara Islam, Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Oleh: Achmad Junaidi Ath Thayyibiy,SIP
1. PENDAHULUAN
Allah swt. Telah menurunkan risalah Islam dan menjadikannya berdiri di atas landasan aqidah tauhid, aqidah: Laa Illaaha IllaLlaah, Muhammadur Rasulullah.
Islam merupakan risalah yang besifat universal, mengatur hubungan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, dengan memandangnya sebagai manusia. Hubungan manusia secara vertical dengan Sang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur, AL Khaliq termanifestasikan dalam bentuk ikatan aqidah dan keharusan beribadah hanya kepada-Nya, serta pengakuan hanya Dia lah Yang Maha Pembuat seluruh Aturan Hukum (system), dan sama sekali tidak mempersekutukannya dengan apapun. Juga kewajiban untuk mengikuti semua aturan dan hukum (system) tersebut, serta wajib terikat dengan seluruh perintah dan larangan-Nya. Disamping juga wajib menjadikan Nabi Muhammad saw. Sebagai utusan Alah, yang wajib diikuti, diteladani dan diambil ajaran-ajarannya, dengan tidak mengikuti selain ajarannya, ataupun mangambil ajaran manusia yang lain.
﴿وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul untukmu, maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr [59]: 7)
Islam telah datang dengan membawa corak pemikiran yang khas, dimana dengan pemikiran itu ia bisa melahirkan sebuah peradaban yang khas pula, yang berbeda sama sekali dengan peradaban yang lainnya. Dan Dengan pemikiran-pemikiran itu pula, ia mampu melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, serta menjadikan benak para penganutnya dipenuhi dengan corak peradaban tersebut. Pemikiran-pemikiran itu muga telah melahirkan pandangan hidup yang khas, yang mampu membangun sebuah masyarakat, dimana pemikiran, perasaan, system dan manusianya menjadi suatu kesatuan yang khas pula.
Demikian pula Islam dating dengan membawa aturan paripurna dan sempurna, yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalan negara dan masyarakat, baik masalah pemerintahan itu sendiri, ekonomi, social, peradilan, pendidikan maupun politik di dalam maupun luar negeri; baik yang menyangkut interaksi umum, antara negara dengan anggota masyarakatnya, atau antara negara dengan negara, maupun negara dengan umatdan bangsa-bangsa lain; dalam keadaan damai maupun perang. Ataupun yang menyangkut interaksi secara khusus antara anggota masyarakat satu dengan yang lainnya.
2.TUJUAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam adalah system yang sempurna. Di dalamya terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar manusia, seperti system social, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Adanya aturan-aturan semacam ini meniscayakan adanya negara yang melaksanakan dan menerapkan atutan-aturan tersebut atas segenap manusia. Islam telah menetapkan sisten yang baku bagi pemerintahan. Islam juga telah menetapkan system administrasi negara yang khas pula untuk mengelola negara, disamping itu Isalam menuntut kepada penguasa sebagai kepala negara untuk menjalankan seluruh hukum Allah kepada seluruh manusia yang menjadi rakyatnya.
Negara Islam adalah negara yang bersifat politis. Negara Islam tidak bersifat sacral. Kepala negara tidak diangap memiliki sifat-sifat orang suci. Sebagai sebuah gambaran, Umar bin Khathab pernah berkata kepada rakyatnya,” Barang siapa yang melihat ada kebengkokan pada diriku maka luruskanlah.” Lantas salah seorang menyambutnya dengan mengatakan,”Andaikan kami melihat sesuatu kebengkokan pada dirimu, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami,” Umar pada saat itu hanya mengatakan,”Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam umat Muhammad orang yang mau meluruskan yang bengkok pada diri Umar dengan mata pedangnya,”.
Negara yang dimaksudkan di sini adalah Daulah Khilafah yang di kepalai oleh Khalifah, yang juga disebut sebagai Amirul Mukminin, Sulthan atau Imam.
Di sini Allah SWT telah menjelaskan beberapa maksud dan tujuan dari pemerintahan Islam, yaitu:
1.a. Memelihara Agama
Negara, terutama Khalifah, bertanggung jawab untuk memelihara Aqidah Islam. Dalam hal,ini dilakukan dengan mengoptimalkan wewenang yang diberikan oleh syara’ kepadanya.Negaralah satu-satunya institusi yang behak membunuh orang-orang murtad dan memberi peringatan kepad siapa saja yang menyeleweng dari agama, Sabda Rasul saw.
“Barang siapa yang menganti agamanya(murtad) maka bunuhlah”(HR Bukhari)
1.Mengatur urusan masyarakat dengan cara menerapkan hukum syara’ kepada seluruh manusia tanpa membeda-bedakan individu-individunya.Firman Allah swt.
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ﴾
”Hendaklah kamu menetapkan hukum diantara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah” (QS. Al Maidah [5]: 49)
Sabda Rasululah saw.
“Seorang imam(kepala negara)adalah perngatur dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya tersebut.
1.Menjaga Negara dan umat dari orang-orang yang melakukan tindakan sabotase negara, dengan cara melindungi batas-batas negara, mempersiapkan pasukan militer yang kuat dan persenjataan yang cangih utnuk melawan musuh, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasululah dan para Khalifah sesudah beliau. Firman Allah:
﴿وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ﴾
“Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, berupa kuda-kuda yang ditambatkan agar kalian mengentarkan musuh Allah dan musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya,” (QS. Al-Anfal [8]: 60)
1.Menyebarkan dakwah Islam kepada segenap manusia di luar wilayah Negara, yaitu dengan cara menjalankan jihad sebagaimana yang dilakukan Rasululah pada beberapa peperangan, misalnya penaklukan Makkah dan perang Tabuk. Begitu pula pernah dilakukan oleh para Khulafa’ sesudah beliau, mereka melakukan berbagai penaklukan ke wilayah Syam,Irak,Mesir, Afrika Utara dan menyebarluaskan Islam di sana. Rasululah saw. Bersabda:
“Jihad tetap berlangsung sejak aku diangkat menjadi rasul sampai generasi terakhir dari umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak dapat dibatalkan oleh dzalimnya pemimpin yang buruk atau adilnya pemimpin yang adil”
1.Menghilangkan pertentangan dan perselisihan diantara anggota masyarakat dengan penuh keadilan. Hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan sanksi kepada mereka yang berbuat dzalim; memperlihatkan keadilan terhadp orang yang didzalimi sesuai dengan hukumyang disyari’atkan. Allah berfirman:
﴿وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ﴾
“Jika kalian menetapkan hikum di antara manusia hendaklah kalian menghukum dengan adil (QS. An Nisa’[4]: 58)
Abu Bakar ra. Pernah berkata:”Orang yang (diangap) kuat di tengah-tengah kalian adalah lemah dihadpanku, hinga aku dapat mengambil(hak tersebut) darinya.Sedangkan orang yang (diangap) lemah ditengah-tengah kalian adalah kuat di hadapanku, hinga aku dapat mengambilkan(haknya) untuknya”. (Husain Abdulah, Dirasat Fil Fikril Islam).
3. SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
Memenuhi urusan rakyat termasuk kegiatan ri’ayatus syu’un, sedangkan ri’ayatus syu’un itu adalah semata-mata wewenang Khalifah, maka seorang Khalifah memiliki hak untuk mengadopsi teknis administrasi (uslub idari) yang dia kehendaki, lalu dia perintahkan agar teknis administrasi tersebut dilaksanakan. Khalifah juga memiliki hak diperbolehkan membuat semua bentuk perundang-undangan dan system administrasi (nidzam idari), lalu mewajibkan atas seluruh rakyat untuk melaksanakannya. Karena, semuanya itu merupakan kegiatan-kegiatan substansi. Khalifah juga diperbolehkan untuk memerintahkan salah satu diantaranya, kemudian hal menjadi mengikat atas semua orang untuk melaksanakan aturan tersebut, tidak dengan aturan yang lain. Maka, pada saat itu hukum mentaatinya menjadi wajib. Sebab hal ini merupakan kewajiban untuk mentaati salah satu hukum yang ditetapkan oleh Khalifah.
Dalam hal ini artinya Khalifah telah menetapkan suatu hukum (tabanniy) terhadap suatu perkara yang telah dijadikan oleh syara’ sebagai haknya. Artinya Khalifah telah melakukan hal-hal yang diangap perlu untuk memudahkannya dalam menjalankan tuganya, yaitu ri’ayatus syu’un. Oleh karena itu ketika dia menetapkan suatu hokum berkaitan dengan system administrasi, rakyat wajib terikat dengan apa yang telah ditetapkannya tersebut., dan perkara ini termasuk dalam hal ketaatan terhadap ulil amri.
Hal yang tersebut di atas merupakan kegiatan administrasi negara dilihat dari sisi penaganannya, sedangkan dalam kaitannya mengenai rincian kegiatan administrasi, dapat diambil dari fakta kegiatan administrasi itu sendiri.
Dengan meneliti faktanya, akan nampak bahwa di sana terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Khalifah sendiri atau oleh para apembantunya (mu’awin). Baik berupa kegiatan pemerintahan, yaitu menerapkan hukum syara’, ataupun kegiatan administrasi, yaitu melaksanakan semua urusan yang bersifat substansi, dari kegiatan penerapan hukum syara’, bagi semua orang. Dimana hal ini memerlukan cara dan sarana tertentu. Oleh karena itu harus adan aparat khusus yang dimiliki khalifah dalam rangka mengurusi urusan rakyat sebagai tangung jawab kekhilafahan tersebut. Disamping itu, ada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan rakyat yang harus dipenuhi. Maka Hal ini membutuhkan adanya instansi yang secara khusus bertugas memenuhi kepentingan rakyat, dan ini adalah suatu keharusan, berdasrkan kaedah:
“Apabila suatu kewajiban tidak sempurna ditunaikan, kecuali dengan adanya suatu perkara, maka mewujudkan perkata tersebut adalah wajib”
Instansi tersebut terdiri dari departemen, jawatan, dan unit-unit tertentu. Departemen antara lain Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Perhubungan, Penerangan, Pertanahan, dan lain sebagainya. Semua departeman mengurusi departemennya sendiri, beserta jawatan dan unit-unit di bawahnya. Sedangkan jawatan adalah instansi yang mengurusai jawatanya dan unit-unit di bawahnnya. Adapun unit-unit tersebutmengurusi urusn unit itu sendri, beserta bagian-bagian dan sub bagian di bawahnya. Semuanya di bentuk untuk menjalankan urusan- urusan administrai negara, serta memenuhi kepentingan-kepentingan rakyat. Dan pada tingkat yang paling atas diangkat pejabat yang bertanggungjawab kepada Khalifah dan secara langsung mengurusi urusan departemen tersebut, berikut para aparat ditingkat ke bawahnya hingga sub-sub bagian di dalam departemen tersebut.
Inilah penjelasn fakta system administrasi negara, yang merupakan perangakat umum bagi semua rakyat, termasuk siapapunyang hidup di dalam naungan negara Islam. Instansi-instansi tersebut biasanya disebut “Diwan” atau “Diwannud Daulah”.(An Nabhanni, Nidzamul Hukmi Fil Islam, terj. Hal. 280).
4. SEJARAH ADMINISTRASI NEGARA ISLAM
Di masa Rasululah saw belum pernah di bentuk secara khusus system administrasi negara bagi departeman dan diwan teresebut dengan ketentuan secara khusus, akan tetapi beliau hanya mengangkat para “katib” pencatat, untuk setiap departemen tersebut, di mana mereka layaknya pejabat yang mengepalai suatau jawatan tertentu sekaligus pencatatnya.
Orang yang mula-mula membuat diwan dai dalam Islam adalah Umar bin Khathab ra. Adapun yang menyebabkan beliau membuat diwan adalah, ketika beliau mengutus utusan dengan membawa “hurmuzan”, lalu orang itu berkata kepad Umar: “Ini adalah utusan yang keluarganya telah engkau beri bagian harta. Bagaimana kalau salah seorang di antara mereka ada yang terlupakan, dan dia tetap menahan dirinya, lalu dari mana bawahanmu bias mengetahuinya? Maka buatlah diwan untuk mengurusi mereka.” Maka Umar bertanya kepadanya tentang diwan tersebut, kemudian dia menjelaskanya kepada Umar.(An Nabhanni,ibid)
Abid bin Yahya meriwayatkan dari Harits bin Nufail, bahwa Umar ra. Meminta pendapat kaum muslimin untuk membuat diwan, lalu Ali bin Abi Thalib ra. Berkata: ”Engkau bagi saja harta yang telah terkumpul padamu, tiap tahun sekali. Dan jangan sedikitpun engkau menyimpannya,” Lalu Utsman ra. Menyampaikan usul:”Aku melihat orang-orang mempunyai harta yang banyak sekali. Kalau tidak pernah ihitung, hinga tidak tahu mana yang sudah dipungut dan mana yang belum, aku khawatir masalah ini akan merebak.” Kemudian Al Walid bin Hisyam mengusulkan:”Aku pernah berada di Syam, lalu aku melihat raja-raja di sana membuat diwan, dan mengatur para prajuritnya(dengan diwan tersebut). Maka, buatlah diwan dan aturlah prajurit tersebut(seperti mereka).” Umar akhirnya mengambil usulan Walid tersebut. Lalu beliau memangil Uqail bin Abi Thalib, Mukhrimah bin Naufal, Jubair bin Muth’im, yang mana mereka adalah pemuda-pemuda keturunan Quraisy. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka;” Catatlah semua orang itu menurut tempat tinggal mereka.
Setelah Islam mulai merambah dan mulai nampak di Iraq, maka diwanul istifaa’ (Instansi pengumpul harta Fai’) dan instansi pengumpul harta mulai berjalan seperti praktek yang terjadi sebelumnyadi sana. Diwan Syam mempergunakan gaya Romawi, sedangkan Diwan Iraq menggunakan gaya Persia. Kemudian pada masa Abdul Malik bin Marwan, maka belia mentrasnfer diwan Syam tersebut ke Arab pad tahun 81 hijriyah. Lalu disusul dengan pembentukan diwan-diwan sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan menagani urusan rakyat. Semisal diwan yang dikhususkan untukmengurusi masalah pasukan, yang bertugas untuk mengangkat dan memberikan gaji tentara. Ada pula sebagai pengatur masalah pekerjaan, yang bertugas memberikan instruksi dan upah. Ada juga diwan yang mengurusi para wali dan amil yang bertugas untuk mengurusi pengangkatan dan pemberhentian mereka. Ada juga diwan yang bertugas mengurusi kas negara (baitul maal), yang bertugas mengurusi pendapatan dan pengeluaran negara.Dan seterusnya. Maka diwan-diwan tersebut, semuanya berhubungan dengan kebutuhan, dan secara teknis biasa saja berbeda-beda dari masa ke masa sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan.
5. SIFAT ADMINISTRASI NEGARA ISLAM
Administrasi Negara dalam Islam dibangun berdasarkan falsafah: wa-in kaana dzu ‘usratin fanadhiratun ila maysarah (jika ada orang yang mempunyai kesulitan, maka hendaknya dilihat bagaimana memudahkanya). Dengandemikian ia bersifat untuk memudhkan urusan dan bukan untuk menekan apalagi memeras orang yang menghendaki kemaslahatannya dipenuhi atau ditunaikan. Dan startegi yang di jalankan dalam rangka mengurusi maslah administrasi ini adalah dilandasi dengan suatu kaedah: SEDERHANA DALAM PERATURAN, CEPAT DALAM PELAYANAN, serta PROFESIONAL DALAM PENANGANAN. Hal ini diambil dari realitas pelayanan terhadap kebutuhan itu sendiri. Karena umumnya orang yang mempunyai kebutuhan tersebut menginginkan agar ebutuhannya dilayani dengan cepat dan terpenuhi dengan sempurna (memuaskan).
Rasulullah saw. Bersabda:
“Seseungguhnya Allah memerintahkan kesempurnaan dalam segala hal. Maka, Apabila kalian membunuh (dalam hukuman Qishas), sempurnakanlah pembunuhannya. Dan Apabila kalian, menyembelih, maka sempurnakanlah sembelihannya.” (HR. Imam Muslim)
Karena itu, kesempurnaan dalam menunaikan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syara’. Agar tercapai kesempurnaan dalam menunaikan urusan tersebut, maka penanganannya harus memenuhi tiga kriteria tersebut, 1) sederhana dalam peraturan, karena dengan kesederhanaan itu akan menyebabkan kemudahan. Kesederhanaan itu dilakukan dengan tidak memerlukan banyak meja,atau berbelit-belit Sebaliknya aturan yang rumit akan menimbulkan kesulitan yang menyebabkan para pencari kemaslahatan menjadi susah dan jengkel. 2) cepat dalam pelayanan, karena kecepatan dapat mempermudah bagi orang yang mempunyai kebutuhan terhadap sesuatu untuk meperolehnya,dan 3) Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang ahli (professional). Sehingga semuanya mengharuskan kesempurnaan kerja, sebagaimana yang dituntut oleh hasil kerja itu sendiri.
Dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip kemudahan ini pula system administrasi dalam Islam tidak bersifat sentralistik, yang ditentukan semuanya oleh pusat, sebaliknya bersifat desentralisasi, atau diserahan kepada masing-masing desa, kecamatan, kabupaten/kota, atau propinsi. Dengan demikian kemaslahatan yang akan deselesaikan dapat ditunaikan dengan cepat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa harus menunggu disposisi, keputusan dari atas atau pusat.
Dan karena perkara ini adalah bagian dari uslub yang mempunyai sifat fleksibel dan temporal. Artinya, dengan fleksibilitasnya, masalah administrasi akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang hendak dipecahkan atau diselesaikan. Dengan sifatnya yang temporal, Administrasi negara bias berubah sewaktu-waktu, jika dipandang tidak lagi sesuai atau tidak cocok lagi dengan kemaslahatan yang dituntut untuk dipenuhi.
1.6. ISLAM MENJAGA KUALITAS SDM APARAT YANG UNGGUL GUNA MEWUJUDKAN CLEAN & GOOD GOVERNANCE
Keunggulan SDM para aparat yang mendapatkan amanat untuk melaksanakan tugas pelayanan administrasi negara dalam Islam dilahirkan dari bahwasanya menurut pandangan Islam tugas atau pekerjaan administrative, adalah kewajiban dan tanggung jawab. Karena itu Islam menetapkan persyaratan khusus bagi setiap aparat, yaitu keahlia teknis administrasi tertentu. Ketetapan seseorang yang diangakat untuk menjalankan tugas di daerah-daerah dan di lapangan administrasi negara dan di dalam aparat pemerintahan yang lain didasarkan pad kemampuan melaksanakan tugas dengan jujur, adil, ikhlash, dan taat kepada perundang-undangan negara, politis maupun administrative. Pemilihan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan ukuran tersebut. Disamping itu bagi para penguasa dikenakan syarat khusus, yaitu sifat-sifat tertentu yang berkaitan dengan tugas pekerjaan yang akan menjadi tangung jawab nya. Seorang Hakim, misalnya ia harus seorang muslim yang merdeka, cerdas, adil, dan menguasai ilmu fiqh (hukum Islam).Seorang pengasa daerah harus seorang yang muslim, merdeka, cukup usia adil, memiliki kemampuan untuk memimpin urusan daerah yang menjadi kekuasaannya. Selain itu ia harus seorang yang ahli taqwa kepad Allah swt. Dan mempunyai kepribadian yang kuat. Yang dimaksud kuat dalam hal ini adalah kekuatan mental dan spiritual. Kekuatan mental ialah kecerdasan berfikir mengenai soal\soal hukum sehinga ia dapat mengetahui berbagai persoalan dan hubungan saling keterkaitannya. Dan yang dimaksud kekuatan spiritual dalam hal ini adalah bahwa seorang penguasa harus menyadari benar-benar bahwa dirinya adalah seorang amir (penguasa) yang kecenderungan fikiran dan perbuatannya harus sesuai dengan kedudukannya sebagai amir.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abu Dzar ra. Yang mengatakan sebagai berikut.: “Aku pernah berkata,: Yaa Rasulallah, apakah anda tidak berkenan mengangkat diriku sebagai penguasa daerah? Rasul saw. Menjawab seraya menepuk-nepuk kedua bahuku:”Hai abu Dzar, anda seorang yang lemah, sedangkan tugas ituadalah suatu amanah yanag akan membuat orang menjadi hina dan menyesal pada hari kiamat, kecuali jika ia mampu menunaikan hak dan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.”
Atas dasar itulah maka seorang Walliyyul Amri wajib mengangkat orang di kalangan kaum muslimin yang paling tepat, right man, untuk melaksanakan tugas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Rasul saw. Telah menegaskan:
“Barang siapa mengangkat seorang sebagai pemimpin jamaah, padahal ia tahu bahwa di dalam kelompok itu terdapat orang yang lebih baik, maka ia telah mengkhianati Allah, mengkhianati Rasul-Nya dan mengkhianati kaum Mu’minin,” (Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam “AL Mustadrak”)
Kerusakan system administrasi yang terjadi di seluruh dunia saat ini yang mengakibatkan jatuhnya martabat negara yang jatuh di tangan system administrasi negara dan system politik sewenang-wenang, sehingga tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi berbagai problem penyelewengan yang dilakukan oleh para penguas dan pejabatnya; apalagi mengikis segala kerusakan sampai ke akar-akarnya, guna menyelamatkan kekayaan negara dan kekayaan individu rakyat dari keserakahan orang yang hendak berbuat korupsi, maling, menyalahgunakan wewenang, menipu, manipulasi, dan sebagainya. Apalagi menjamin terpeliharanya keamanan negara di dalam negeri, menegakkan keadilan, berlakunya prinsip ”supremasi hukum” bagi semua orang tanpa membeda-bedakan yang memerintah dan yang diperintah!!!
Maka yakinlah, keadaan seperti di atas tidak mungkin terwujud kecuali di bawah pengayoman system dan hukum Islam.
Kalau pada jaman dahulu Islam sanggup mengikis habis kerusakan administrasi dibawah Persia dan Romawi, maka tidak diragukan lagi kalau dewas ini pun Islam akan tetap sangup menanggulangi kerusakan administrasi negara yang melanda semua negara di dunia ini, termasuk negara-negara yang dijuluki negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, dan negara-negara barat lainnya, maupun menyelamatkan Indonesia saat ini, tentu dengan Syari’at Islam………insya Alah!
Dengan melihat sepintas-kilas hukum Islam mengenai administrasi negara, kita dapat mengetahui bagaimana Islam mencegah terjadinya kerusakan di kalangan alat-alat negara/aparat baik di bidang administrasi maupun peradilan. Yaitu dengan mengharamkan pejabat atau pegawai menerima suap, hadiah, hibah, yang diberikan oleh orang-orang tertentu kepada mereka untuk memperoleh jaminan atas kepentingan-kepentingannya.
Islam telah menatapkan beberapa cara memperoleh harta secara tidak sah yang dilakukan oleh para penguas, pejabat, dan pegawai negara pada umumnya, yaitu; menerima suap, hadiah atau hibah, menerima hasil penyalahgunaan kedudukannya sebagai makelar, menerima komisi, korupsi dan menggunakan harta kekayaan yang berada di bawah kekuasaannya dengan cara sewenang-wenang.
Suap misalnya, yang didefinisikan para ulama Fiqh sebagai; semua harta /uang yang yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau pejabat dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang mestinya wajib diputuskan tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Pengharaman suap adalah kuat di dasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits, Allah swt berfirman:
﴿وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾
“Dan janganlah ada sebagian kalian makan sebagian harta benda sebagian yang yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan(untuk menyuap) para hakim dengan ﴾maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu)” (QS.Al Baqarah [2]: 188).
Abu dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasululah bersabda:
“Laknat Allah terhadp penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan”
At Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits serupa berasal dari Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Laknat Allah terhadp penyuap dan penerima suap”
Hadits lainnya lagi mengenai soal ini diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Al-Bazar, dan Al-Hakim, berasl dari Tsuban yang mengatakan:
“Rasulullah saw. Melaknati penyuap,penerima suap, dan orang yan menyaksikan penyuapan.”
Abu Daawud juga meriwayatkan, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadnya telah kami beri rizki(imbalan gaji), maka apa yang diambil olehnya selainitu adalah kecurangan.”
Adakalanya suap juga diberikan orang dengan maksud agar aparat/ penguasa/ pegawai, menjalankan tugas kewajibannya sebagaimana mestinya. Suap semacam ini yang sangat dihinakan oleh shahabat Nabi, bahkan mereka menolaknya dengan tegas.
Sebuah riwayat berasal dari Sulaiman bin Yassar, mengatakan, bahwa Rasulullah saw, mengutus ‘Abdullah bin Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah Yahudi yang baru saja tunduk kepada kekuasaan Islam) untuk menaksir hasil buah kurma di daerah itu, karena Rasulullah saw. Telah memutuskan hasil-hasil buumi Khaibar di bagi dua; separoh untuk kaum Yahudi sendiri yang mengelolanya, dan yang separohnya lagi diserahkan kepada Kaum Muslimin. Ketika Abdullah bin Rawahah sedang menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi dating kepadanyamembawa berbagai perhiasan yang merekakumpulkan dari istri mereka masing-masing. Kepada Abdullah mereka berkata,: “Perhiasan ini untuk anda, ringankanlah kami dan berilah kepada kami lebih dari separoh,” Abdulah menjawab,”Hai kaum Yahudi, demi Allah, kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kalian perbuat itu justru mendorong diriku merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram, dan kami kaum Muslimin tidak memakannya!” Mendengar jawaban tersebut mereka menyahut,”Karena itulah langit dan bumi tetap tegak!” (Imam Malik, Al Muwattha’:1450).
Ringkasnya ialah bahwa semua harta yang diperoleh melalui suap dipandang sebagai harta haram, bukan milik siapapun, harus disita dan diserahkan kepad Baitul Maal, karena harta yang demikian ini didapat dengan cara yang tidak sah. Penerimanya, pemberinya, perantaranya, wajib dijatuhi hukuman berat, karena praktek suap sangat besar pengaruhnya terhadap semua alat-alat negara dan merusak kepercayaan rakyat.
Islam juga mengharamkan kekayaan gelap yang di dapat secara tidak sah oleh penguasa dan pejabat. Selain itu Islam juga melarang seorang penguasa menyentuh kekayaan umum dengan alas an dan cara apapun, baik alasan penafsiran maupun fatwa dari ulama maupun “aulia”.
Atas dasar hukum-hukum tersebut Islam mengatasi maslah kerusakan administrasi negara ini dengan jelan mewujudkan SISTEM PENGAWASAN diri pribadi di kalangan para pejabat/aparat. Sebab, orang yang benar-benar muslim ia tidak akan berbuat korupsi, tidak akan mau menerima suap, tidak mau mencuri, tidak mau berkhianat, tidak mau berbuat dzalim dan tidak mau menipu; karena tahu bahwa Allah selalu mengawasi dirinya dan menuntut pertanggungjawaban atas setiap kejahatan, yang kecil maupun yang besar. Satu kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi, jika seorang penguas atau pejabat tidak memiliki sifat takwa kepad Allah swt. Serta tidak takut kepada pengawasn=Nya secara lahir-bathin, maka penguas atau pejabat atau aparat yang demikian pasti bersikap menindas rakyat dan bertindak sewenang-wenang!!
1.7. PENUTUP
Demikianlah Islam tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan terhadap berbagai tindak penyalahgunaaan wewenang, jabatan dan kedudukan. Hukum Islam cukup efektif untuk menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan administrasi negara, untuk menjaga keselamatan kekayaan, tanah property, sumber daya alam dan semua milik negara maupun milik umum dan pribadi rakyat. Karena itupenerapan hukum Islam akan dapat menaggulangi krisis administrasi negara akibat kesewenang-wenagan para penguasa dan para pejabat terhadap rakyat; atau akibat tindak perkosaan yang mereka lakukan terhadap harta kekayaan milik rakyat, baik dilakukan melalui paksaan, kekerasan, tekanan kekuasaan, atau dengan cara penerimaan suap, hibah, hadiah,; atau akibat tindak korupsi terhadap harta negara dan kekayaan rakyat dengan penipuan dan pengelabuan; ataupun akibat praktek makelar proyek dan penerimaan komisi tanpa sepengetahuan negara atau melalui jalan belakang.
Semua ini akan segera dapat di hapuskan dengan senjata yang ampuh berupa system administrasi negara Islam yang telah nyata terbukti menghancurkan keboborokan administrasi yang diwariskan peradaban sebelumnya, padahal Islam belajar dari teknik mereka, tetapi karena adanya mafahim indhibath syar’iyy(kedisiplinan hukum) dalam wadah institusi negara, menjadikan Kaum Muslimin mampu memimpin manusia kejalan petunjuk….InsyaAllah, amiin……..
Sumber :http://pondok24.wordpress.com/2010/04/10/

Kendalikan Nafsu, Itu Jalan Ke Surga

Setiap kali kita berbiacara tentang puasa selalu kita teringat tentang pengendalian nafsu. Sebab puasa adalah ibadah mengendalikan nafsu. Dalam Al Qur’an masalah pengendalian nafsu adalah masalah penting. Dan bahkan Allah swt. menegaskan bahwa mengendalikan nafsu adalah jalan ke surga. Dalam surah An Nazi’at:40-41 Allah berfirman: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). Ayat ini menunjukkan beberapa makna:

Pertama, bahwa setiap manusia dihadapkan kepada dua kekuatan yang saling tarik-menarik: kekuatan takut kepada Allah dan kekuatan hawa nafsu. Bila takutnya kepada Allah lebih kuat, maka ia akan mengendalikan nafsunya. Begitu nafsu dikendalikan, syetan tidak berdaya menggodanya. Ketika syetan tidak berdaya, maka amalnya akan selalu baik. Karena itu dalam bulan Ramadhan kita menyaksikan masjid-masjid penuh, siang maupun malam. Dan suasana seperti itu sulit kita temukan di luar Ramadhan. Sebab begitu nafsu makan dibuka, syetan kembali berkuasa. Karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa dari dibukanya nafsu makan terbuka otomatis pintu-pintu syetan untuk menguasai manusia. Jelasnya bahwa dengan kuatnya rasa takut kepada Allah yang pertama kali akan dikendalikan nafsu. Lalu dari sini pintu-pintu kebaikan akan terbuka lebar. Bila amal baik terus-menerus dilakukan secara istiqamah, maka ia akan masuk surga.

Kedua, menguatkan rasa takut kepada Allah (khaafa maqaama rabbihi) adalah modal utama untuk senantiasa istiqamah bermal saleh. Karena itu dalam Al Qur’an Allah swt. Selalu menekankan pentingnya membangun al kahuf atau al khasyyah ini. Pada ayat sebelumnya di surat An Nazi’at juga, Allah swt. memerintahkan Nabi Musa agar mengajak Fir’un supaya takut kepada Allah. Sebab dengan takut kepada Allah Fir’un tidak akan bertindak sombong lagi. Jadi sikap sombongnya Fira’un mucul karena tidak adanya khasyyah. Dan khasyyah tidak akan muncul tanpa ilmu, Allah berfirman innama yakhsyallahu min ibaadihil ulamaa’u (sesungguhnya hanya orang yang punya ilmu yang takut kepada Allah) (QS. Fathir:28). Karena itu Nabi Musa diutus untuk mengajarkan kepada Fir’aun hakikat kekuasaan Allah swt. Sampai-sampai Nabi Musa menunjukkan mukjizatnya yang agung (al aayatal kubraa) hanya untuk meyakinkan Fir’aun, tetapi ternyata Fir’aun tetap bertahan dalam kekafiran. Bahkan Fir’aun malah mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan dengan berkata: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Suatu kenyataan bahwa tanpa rasa takut yang kuat nafsu akan berkuasa. Puncak gejolak nafsu adalah kesombongan. Allah lalu menjelaskan bahwa dalam peruistiwa Fir’aun terdapat pelajaran bagi orang yang takut kepada Allah. Lagi-lagi masalah takut khasyyah dipertagas oleh Allah swt. Menunjukkan betapa pentingnya membangun rasa takut untuk mecapai ketaatan yang maksimal.

Ketiga, mengendalikan nafsu adalah kata kunci untuk mencapai surga. Karena itu dalam ayat di atas Allah swt. langsung menegaskan: fainnal jannata hiyal ma’wa. Bahwa hanya dengan mengendalikan nafsu seseorang akan menjadi baik dan penuh amal saleh. Berbagai kemaksiatan yang menghancurkan hidup manusia, itu pasti ujung-ujungnya adalah karena ikut nafsu. Dengan demikian tidak ada kebaikan sama sekali bila ternyata nafsu dibebaskan tanpa kendali. Ibadah puasa membuktikan bahwa mengendalikan nafsu bukan suatu yang mustahil. Lebih-lebih bahwa pengendalian nafsu ketika puasa adalah pengendalian dari halal. Maka dengan ibadah puasa kelak tidak ada alasan untuk berbuat yang haram. Artinya bisa dikatakan kepada mereka: engkau telah menahan nafsu dari yang halal, maka tidak ada alasan bagimu untuk melaukan yang haram. Ini suatu bukti, bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Nafsu tidak akan mampu memaksa seseorang melakukan dosa. Bisa ada seseorang yang terjerumus dosa itu bukan karena dahsyatnya nafsu, melainkan kerena lemahnya iman. Dengan demikian jalan satu-satunya untuk mengendalikan nafsu adalah kuatkan iman, Karena itu Allah panggil yaa ayyuhalladziina aamanuu (wahai orang yang beriman) dalam perintah puasa pada ayat 183 surah Al Baqarah. Suatu indikasi bahwa hanya orang-orang yang kuat imannya yang akan bersungguh-sungguh mengendakikan nafsunya. Wallahu’alm bishshawab.
Sumber http://www.dakwatuna.com/2008/kendalikan-nafsu-itu-jalan-ke-surga/