Kamis, 24 Maret 2011

Ajari Anak Anak Mengenal Potensi Daerah

Tidak banyak publikasi atas keberadaan batik tulis asli Kebumen, Jawa Tengah, yang dilakukan para perajin ataupun stakeholders (pemangku kepentingan). Padahal, secara kualitas dan potensi pasarnya sangat menjanjikan. Berdasarkan informasi dari masyarakat produsen, pelaku usaha maupun asosiasi perajin batik dari daerah pesisir selatan di daerah Jawa tengah tersebut, kegiatan membatik dan bisnisnya sebenarnya sudah dikenal selama tujuh turunan.

Batik Kebumen ternyata sangat menarik baik dilihat dari sisi motif maupun seni pewarnaannya. Ungkapan kekaguman itu datang dari bukan sembarang orang. Pernyataan itu datang dari seorang designer terkenal di negeri ini, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI: Poppy Susanti Dharsono., mewakili Jawa Tengah dalam acara kunjungan kerja masa reses tahun 2010.

Namun apa jadinya ketika ketika potensi daerah ini tidak di kenal oleh genarsi muda di kabupaten kebumen, tentunya kekayaan dan kearifan lokal ini lambat laun akan hilang dari bumi kebumen. Berkaitan dengan hal tersebut belum ini siswa klas VI SD IT Logaritma menlakukan study wisata ke pengrajin batik desa Jemur Kecamatan Pejagoan Kab. Kebumen.

Senin, 21 Maret 2011

ISLAM DAN PERBANKAN SYARIAH

Oleh
Endar Rini Pengelola BMT Bina Insani

A. ISLAM SEBAGAI DIEN YANG KOMPREHENSIF DAN UNIVERSAL
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan mengemban 2 ( dua ) tugas, yang pertama yaitu sebagai hamba yang hanya mengabdi / beribadah kepada Allah (Q.S. Adz-Dzariyat : 56) dan yang kedua sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. Al Baqoroh : 30), yang diberi amanah untuk mengelola bumi beserta segala isinya dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Untuk menjalankan tugasnya tersebut, Allah memberikan petunjuk / panduan hidup kepada manusia melalui rasul-Nya. Petunjuk tersebut berupa Ad-Dien yang merupakan kumpulan hukum / ketentuan-ketentuan yang meliputi segala aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Dua komponen pertama, akidah dan akhlak bersifat konstan / tetap. Keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradapan umat manusia yang berbeda-beda sesuai dengan masa rasul dari masing-masing umat diutus. Hal tersebut diungkapkan Allah dalam Al Quran, “… Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang ….” (Q.S. Al Maidah : 48 ).
Oleh karena itu, syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia, mempunyai karakteristik tersendiri. Syariah ini bukan saja bersifat menyeluruh ( komprehensif ), tetapi juga bersifat umum ( universal ).
Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual ( ibadah ) maupun sosial ( muamalah ). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk memgingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. ( Muhammad Syafi’i Antonio, 2001 : 4 ).

Universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan kepada setiap umat, setiap ras, setiap suku bangsa dan strata sosial dalam setiap waktu dan tempat sampai Hari Akhir nanti. Ia merupakan petunjuk dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Inilah yang dijelaskan Allah dalam Al Quran :
“ Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam “. ( Q.S. Al Anbiya : 107 ).

B. PRINSIP DASAR DAN SISTEM OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH
Prinsip dan sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional, karena sistem keuangan dan perbankan syariah merupakan sub sistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas sehingga perbankan syariah tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, tetapi juga dituntut untuk secara sungguh-sungguh merealisasikan nilai-nilai syariah.
Prinsip dan sitem perbankan syariah tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Larangan riba ( bunga ) dalam berbagai bentuk transaksi.
Seperti yang diungkapkan Direktur Tazkia Institut Zainul Arifin (Republika, 27 Agustus 2003) sebenarnya bukan hanya Islam yang secara tegas melarang riba termasuk pembungaan uang, sejumlah agama termasuk kristen, bangsa Yunani dan Yahudi juga memiliki paham yang sama.
Dalam Islam larangan riba tercantum dalam Al Quran antara lain surat Al Baqoroh ayat 278 sebagai berikut :
“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman “.
2. Prinsip titipan atau simpanan ( Al Wadi’ah ).
Al Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Landasan syariahnya antara lain :
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya ….” ( Q.S. An Nisa : 58 )
Dalam aplikasinya bank sebagai penerima simpanan dapat menggunakan 2 (dua) konsep / akad, yaitu :
- Al wadi’ah yad amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.
- Al wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, dimana dalam hal ini bank mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana dan bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
3. Menggunakan sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana, yaitu antara bank dengan nasabah penyimpan maupun dengan nasabah penerima dana / pembiayaan.
Berdasarkan prinsip ini, akad yang dipakai antara lain :
- Al Musyarokah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Landasan syariahnya Q.S. An Nisa : 12.
- Al Mudharobah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan, dan jika terjadi kerugian yang bukan diakibatkan oleh kelalaian pengelola, pemilik modal menanggung kerugian sebesar pembiayaan yang diberikan atau sesuai kesepakatan. Landasan syariahnya Q.S. Al Jumu’ah : 10.
4. Sistem Jual Beli.
Sistem ini menerapkan tata cara jual beli. Dengan demikian bentuk pelayanannya adalah pembiayaan pembelian barang. Landasan syariahnya antara lain terdapat dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 275 :
“ … Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … “
Akad yang berdasarkan prinsip tersebut antara lain :
- Al Murobahah, yaitu transaksi jual beli dengan pembayaran tangguh ( misalnya 1 bulan, 3 bulan ).
- Al Ba’i Bitsaman Ajil, yaitu transaksi jual beli dengan pembayaran angsuran / cicilan.
5. Sistem Sewa
Akad yang dipakai berdasarkan sistem sewa adalah Al Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa. Landasan syariahnya firman Allah dalam Al Quran sebagai berikut :
‘’ Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut…. “ (Q.S. Al Baqoroh : 233)
6. Sistem Jasa / Fee
Pada sistem ini bank diperbolehkan memungut jasa / fee atas jasa pelayanan pembayaran melaui pengalihan hutang atau atas layanan jasa / program lainnya. Berdasarkan prinsip tersebut akad yang digunakan diantaranya :
- Al Kafalah, merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak yang ditanggung. Landasan syariahnya antara lain : Q.S. Yusuf ayat 72.
- Al Hawalah, adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang / pihak lain. Hal tersebut diperbolehkan antara lain berdasarkan Hadis riwayat Bukhari-Muslim yang artinya : Apabila salah seorang diantara kamu diminta untuk dialihkan pembayaran hutangnya kepada yang berkemampuan maka terimalah.

C. PERBEDAAN ANTARA BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Dari uraian tentang prinsip dan sistem operasional perbankan syariah di atas, maka perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional serta perbedaan antara sistem bagi hasil dengan sistem bunga (riba ) dapat terlihat dalam tabel berikut ini :
C.1. BANK ISLAM
1. Melakukan investasi yang halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.
3. Profit dan falah (kebahagiian dunia akhirat) oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
C.2. BANK ISLAM
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.
3. Profit oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur debitur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis.
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
2. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang ( modal ) yang dipinjamkan.
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh nasabah untung atau rugi.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah ke-untungan berlipat.
5. Eksistensi bunga diragukan ( kalau tidak dikecam ) oleh semua agama termasuk Islam.
BAGI HASIL
1. Penentuan besarnya rasio / nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
2. Besarnya rasio bagi hasil bergantung pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Sumber : Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia.
6
D. SEKILAS TENTANG PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
Sejarah perbankan syariah di Indonesia ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) pada tahun 1992. Namun dalam perkembangannya tidak begitu menggembirakan. Barulah sejak krisis moneter melanda negeri ini, BMI sebagai satu-satunya bank syariah saat itu mampu menunjukkan ketegarannya selamat dari badai krisis tersebut dimana di saat bersamaan banyak bank-bank konvensional yang kolaps dan dilikuidasi, pamor bank syariahpun mulai menjulang.
Perkembangan bank syariah pada era reformasi semakin mengalami kemajuan yang pesat setelah disetujuinya UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang di dalamnya juga memuat aturan tentang landasan hukum dan operasional perbankan syariah. Tahun 2001 merupakan tahun booming bank syariah karena sejak saat itu banyak berdiri bank-bank syariah, bank konvensional pun tidak ketinggalan membuka cabang / divisi / unit syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Berdasarkan data Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, hingga akhir tahun 2006, di Indonesia terdapat 3 (tiga) bank umum syariah, yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) dan ada 29 unit / divisi usaha syariah dari bank konvensional seperti UUS BNI, UUS BRI, Divisi syariah Danamon dan lain-lain. Selain itu ada 83 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan juga ada 1 bank asing yang telah membuka layanan syariah yaitu The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC). Total aset perbankan syariah secara keseluruhan mencapai Rp 25,488 triliun, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah mencapai Rp 19,347 triliun, dan jumlah pembiayaan mencapai Rp 20,391 triliun.
Produk dan layanan perbankan syariah pun terus berkembang dan makin inovatif. Misalnya layanan Office Channeling ( Kebijakan pemerintah tentang diperbolehkannya bank konvensional menerima penyetoran dana / tabungan dari nasabah bank syariah ), juga produk inovatif dari BMI yaitu kartu bertabungan bebas riba Shar-E.
Dengan melihat fakta-fakta tersebut, didukung dengan makin tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap ekonomi syariah juga perkembangan teknologi yang digunakan bank syariah, prospek perbankan syariah di masa yang akan datang akan semakin cerah.

E. KESIMPULAN
Dari keseluruhan apa yang telah diuraikan di muka, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
a. Islam merupakan dien yang lengkap / menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan, petunjuk Allah untuk semua umat manusia untuk mecapai kemakmuran hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Selama kita menerapkan Islam secara parsial / sebagian saja, maka kita akan mengalami keterpurkan dunia dan kerugian ukhrawi, seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya :
“ … Apakah kalian beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari pada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat ” ( Q.S. Al Baqoroh : 85 ).
b. Perbankan syariah merupakan salah satu jalan keluar yang tepat bagi bangkitnya perekonomian umat dan bangsa Indonesia, karena prinsipnya yang berdasarkan keadilan, transparansi dan bebas riba.
F. SARAN
Mengingat pentingnya peran perbankan syariah sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi Islam, maka untuk mendorong semakin berkembangnya perbankan syariah, maka perlu dilakukan upaya-upaya :
a. Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan RUU Perbankan Syariah, sehingga perbankan syariah mempunyai landasan hukum yang lebih kuat dan mempunyai aturan tersendiri yang terpisah dari UU Perbankan Konvensional.
b. Para Ulama hendaknya lebih berperan dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai perbankan syariah, sehingga tidak ada lagi kebingungan dan keraguan umat akan sistem perbankan syariah dan sistem ekonomi Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Terjemah Depag RI, 1992, Semarang : Nur Cahaya
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Cendekia.
Bahreisy, Salim, 1987, Tarjamah Riadhus Shalihin, Cetakan ke 10, Bandung : PT. Al Ma’arif
Surat kabar harian umum Republika, Edisi 27 Agustus 2003.

BEBERAPA PAHAM SEBAGAI TANTANGAN DAKWAH DI INDONESIA

Disusun oleh :
BAMBANG PURWANTO KETUA BIDANG DAKWAH LSU BINA INSANI

I.Pengantar
Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam adalah kewajiban atas seluruh umat Islam. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin agar mendakwahkan Dinul Islam dan selanjutnya menegakkannya melalui dakwah dan jihad. Dakwah adalah kegiatan yang dilaksanakan jama’ah Muslim (lembaga-lembaga dakwah) untuk mengajak umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan sehingga Islam terwujud dalam kehidupan fardiyah, usrah, jama’ah dan ummah sampai terwujudnya tatanan khaira ummah. Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.
Al-Qur’an adalah kitab dakwah ini. Agar kita dapat memperoleh energi Al-Qur’an, mengetahui hakikat gelora yang tersembunyi di dalamnya, dan mendapatkan nasihat yang tersimpan untuk umat Islam di setiap generasi, sepatutnya kita menghadirkan di dalam visi kita tentang eksistensi generasi Islam pertama yang menjadi obyek sasaran Al-Qur’an untuk pertama kali. Generasi awal Islam tersebut dengan karunia Alloh telah berhasil mendirikan sebuah negara di Yatsrib yang kemudiaan dikenal sebagai negara Madinah dengan konstitusi Madinahnya.
Jika dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu. Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya. Rupa-rupanya antara dakwah dan tantangannya sudah senyawa.
Sejak masuknya Islam ke negeri ini pada akhir abad pertama Hijrah atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai sistem hukum yang menghendaki kekuasaan negara kemudian dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di berbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “Adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Demikianlah maka umat Islam Indonesia sejak abad 1 H atau 7 M telah berusaha meletakkan dasar identitas bangsa Indonesia, sebagai bangsa relijius. Bangsa yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar pemikiran dan cara hidupnya. Tentu dalam proses tersebut terdapat berbagai tantangan dakwah yang muncul. Tulisan ini akan mencermati tantangan dakwah di Indonesia yang berupa ; 1).Sekularisme, 2). Liberalisme, 3). Pluralisme Agama, 4). Nativisme.
II. Sekularisme
Sekularisme adalah suatu paham atau aliran dalam kehidupan yang memisahkan agama/wahyu dari kehidupan duniawi. Jelasnya nilai-nilai agama/wahyu tidak boleh dibawa-bawa untuk diperankan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan masyarakat dan negara. Karena menurut pikiran orang-orang sekular, agama hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedang persoalan bermasyarakat dan bernegara urusan bersama dari seluruh anggota masyarakat dan warga negara. Selanjutnya, sekularisme menurut M. Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: kotak dunia dan kotak spiritual, dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual.
Serbuan kolonialisme, baik di seluruh dunia Islam maupun secara khusus di kepulauan Nusantara, dengan kepentingannya untuk melucuti peran sosial-politik Islam, membawa gangguan pada sistem religio-politik tradisional. Upaya untuk menghalau Islam dari ruang publik berarti penolakan terhadap premis-premis orisinal dari sistem politik yang berbasis keagamaan. Gangguan dan keterputusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari sekularisasi politik.
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus dilanjutkan oleh rezim-rezim pemerintahan pascakolonial. Hal ini utamanya disebabkan oleh watak elit politik negeri ini, yang hingga belum lama berselang tidak pernah menunjukkan komitmen yang terbuka terhadap Islam. Sebagian besar dari generasi pertama elit politik berpendidikan tinggi dan perwira militer berasal dari lingkungan priyayi yang ter-Barat-kan atau dari latar Protestan, Katolik, dan sinkretik (abangan) dalam orientasi keagamaannya. Minoritas elit terhormat ini, karena eksposnya yang tinggi terhadap ide-ide Barat dan permusuhannya yang panjang terhadap elit-elit berorientasi Islam, cenderung mempertahankan afiliasinya dengan politik yang berorientasi sekular dalam oposisinya terhadap ide negara Islam.
Menurut catatan Dr. Fuad Amsyari bahwa setelah masa kemerdekaan terselesaikan lalu terjadi kemelut khususnya menyangkut ideologi mana yang dijadikan acuan untuk mengisi kemerdekaan itu. Karena mayoritas bangsa pada saat kemerdekaan diperkirakan masih 95% lebih adalah muslim maka kemelut itupun banyak berasal dari kalangan muslim sendiri, khususnya pertentangan antara golongan umat yang berbeda pemahaman Islamnya oleh pengaruh non-Islam ke dunia pemikiran Islam. Proses ini nampaknya terus berjalan hingga sekarang.
Salah satu potret menarik untuk dicermati tentang usaha sekularisasi oleh sebuah rezim di Indonesia dengan menciptakan ruang hampa dalam ranah sosial-politik dari pengaruh Islam ialah saat ORBA memaksa agar Pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi organisasi sosial-politik. Bersamaan dengan situasi ini muncul gerakan pembaharuan Islam pada tahun1970-an secara tidak langsung memperkuat proses sekularisasi dengan mendukung keharusan Islam untuk melucuti klaim-klaim politiknya agar bisa memusatkan dirinya pada imperatif-imperatif etik dan spiritual. Diktum Nurkholis Majid yang amat terkenal “Islam, Yes; Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa “Islam bukanlah ideologi politik”. Dapat dikatakan bahwa jika sebelum dekade 1970-an proses sekularisasi ini diarahkan oleh negara, setelah dekade tersebut proses itu telah menemukan resonansinya pada hati sanubari angkatan baru cendekiawan Muslim.
Masih menurut Dr. Yudi Latif bahwa proses pemisahan agama dan politik di Indonesia, tidaklah persis seperti apa yang terjadi di banyak negara-negara Barat. Sekularisme dalam konteks Indonesia tidaklah berarti inkonsistensi dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan boleh jadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional. Rezim-rezim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintahan telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyifati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.
Untuk menghadapi penyebaran paham sekularisme yang menggunakan jalur publikasi dan media massa ajakan Alloh yarham Dr. M. Natsir patut dicamkan. Berkaitan dengan hal ini, beliau mengajak para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan cara menghadapi sekularisme, yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja. Ia amat gembira karena sudah ada beberapa intelektual muslim yang telah menulis buku mengenai hal yang dimaksudkannya itu.
III. Liberalisme
Liberalisme seperti yang dikatakan oleh Dr. Syamsuddin Arif adalah sebuah paham yang mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas atau free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran atau sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion).
Di kalangan orang Barat berangkat dari kebebasan inilah mereka lepaskan kontak dengan Allah dalam mengumbar nafsu. Makan minum barang haram bebas. Pergaulan laki-laki dan perempuan bebas. Homosex dan lesbian bebas. Perjudian dan barang riba bebas. Jadi berbagai ketentuan wahyu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dibuat menjadi bebas.Mereka sudah tidak berpikir lagi tentang kelanjutan hidup di alam akhirat. Begitulah konsep kebebasan yang dijadikan dasar kehidupan dalam budaya Barat.
Pada zaman modern ini, banyak kaum terpelajar kita yang terkagum-kagum dengan pemikiran yang datang dari Barat untuk menggantikan Islam. Jika ditelusuri, diketahui bahwa hal itu berawal sejak masuknya penjajah Barat ke negara-negara Muslim. Imperialis Barat tidak hanya merampas kekayaan alam negara-negara Muslim, tetapi juga merampas akidah, mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh dibilang berhasil. Pasalnya, mereka betul-betul membeo dan mengekor ke Barat, tidak hanya dalam hal teknologi yang masih bisa ditolerir, tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, berupa cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya.
Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan paham-paham Barat melalui buku, tulisan di media massa, serta diskusi dan ceramah di kampus. Bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang memukau dan menjanjikan sesuatu yang baru nan indah. Target mereka adalah umat Islam keluar dari keislamannya sebagaimana Barat meninggalkan agamanya. Mereka sering merelatifkan pendapat ulama (ijtihad). Apa saja pendapat ulama yang tidak sesuai dengan selera mereka atau selera masa kini, langsung mereka vonis bahwa itu hanya sekadar pendapat ulama terdahulu yang belum tentu relevan untuk diterapkan pada masa kini. Padahal mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur’an, tidak mengerti hadits, serta tidak memahami kitab-kitab turats (klasik), tetapi mau mengarungi samudera luas. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan.
Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Adian Husaini bahwa hegemoni orientalis Barat dalam studi Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Berbagai keanehan dan kemungkaran dalam dunia ilmu keislaman telah bermunculan dari tubuh berbagai perguruan tinggi Islam. Tidak sedikit orang-orang yang belajar ilmu-ilmu Islam kemudian justru menjadi penentang Islam yang tangguh dan aktif melakukan dekonstruksi (penghancuran) konsep-konsep dasar Islam. Kemungkaran ilmu bukanlah kemungkaran yang ringan, karena berdampak sangat serius dalam amal perbuatan.
Menurut Dr. Fuad Amsyari untuk menyelamatkan umat Islam dan bangsa ini dari arus pembaharuan Islam yang destruktif perlu strategi sebagai berikut :
a. Mengusahakan agar para kyai dan ulama serta sistem pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan IAIN tidak terjerumus pada pengajaran ritual, filsafat, dan kegahiban belaka, apalagi jika sampai berlebihan melewati batas ajaran Alloh sehingga menjadi bid’ah dan syirik. Mereka seharusnya lebih mendalami dan mengajarkan prinsip sosial Islam melalui kajian al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Ulama Salaf yang sarat akan prinsip-prinsip sosial itu dan segera bersikap korektif terhadap gejala sosial salah yang tampak di sekitarnya.
b. Mengajak sungguh-sungguh para intelektual dan penguasa/pejabat muslim agar tidak lupa daratan, merasa lebih pandai dan lebih kuasa dari Alloh hanya karena belajar sedikit ilmu pengetahuan dan mendapat sedikit kekuasaan yang dipegangnya lalu berani memakzulkan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial. Islam harus kembali dianggap sebagai teknologi membangun manusia, masyarakat, bangsa, dan negar, bukan hanya sekedar ajaran akhlak atau ritual belaka.
c. Seluruh aktivis Islam harus berusaha keras merubah sistem sosial mereka menjadi sistem sosial yang Islami sesuai dengan tuntunan Alloh. Jangan hendaknya aktifitas Islamnya hanya sebatas ingin merubah orang per orang. Teknologi merubah masyarakat atau sistem sosial harus secepatnya dikuasai dan ditrampilkan, khususnya dalam tiga hal yang penting, yakni: 1). Ketrampilan untuk mengganti pimpinan suatu kelompok sosial dari pimpinan yang tidak berorientasi pada Islam menjadi pimpinan yang memahami dan berhak pada tuntunan Islam, 2). Kemampuan dan ketrampilan aktivis Islam merubah kebijakan sosial dan perundang-undangan yang menyalahi prinsip Islam menjadi kebijakan dan perundang-undangan yang selaras dengan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial; dan 3). Kemampuan dan ketrampilan untuk merubah budaya yang melanda masyarakat dari budaya syetan menjadi budaya yang sesuai dengan tuntunan Alloh.
d. Menyadarkan para ‘pembaharu’ yang membawa pada pengaburan makna Islam dan merelatifkan isi ajaran Islam itu untuk kembali pada ajaran Islam yang baku sesuai dengan pemahaman jumhur ulama. Hendaknya mereka tidak mudah putus asa oleh sedikit tekanan pihak yang tidak mengerti Islam atau memusuhi Islam dengan cepat-cepat memberi makna lain tentang Islam. Bila mereka tetap teguh dengan ajaran Islam yang benar dan mau bersatu bersama teman-teman seperjuangannya yang lain insya Alloh mereka akan berhasil menjadi pemimpin Islam yang dihormati dihargai umat dan sekaligus akan menjadi pemimpin bangsanya pada masa pasca modern.
Peningkatan jumlah kasus aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa yang mengemuka, maraknya hamil di luar nikah, dan kumpul kebo adalah bukti-bukti dari maraknya kehidupan yang permisif. Memang ada kecenderungan di kalangan masyarakat negeri ini bahwa praktik perzinahan merupakan hal yang dianggap biasa. Di tambah secara juridis, seperti pendapat Dr. Adian Husaini bahwa bangsa ini masih lebih senang menjadi antek kolonial Belanda, yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang terikat dengan perkawinan yang bisa disebut sebagai pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/istri (pasal 284 KUHP).

IV. Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “ religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama’” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian gereja: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama dalam wacana pemikiran Barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudaha, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun di bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil, untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau disepakati semua kalangan.
Untuk mendefinisikan agama setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis, misalnya secara alami sangat mudah membedakan antara agama Budha dan agama Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya.
Sementara para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya. Pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N. Bellah, Thomas Luckmann dan Clifford Geertz. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Pendapat ini adalah yang diyakini oleh Rudolf Otto dan Micrea Eliade.
Dari uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme,sekularisme, nasionalisme dan lainnya. Dan jika pluralisme dirangkai dengan agama sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif bahwa pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang final.
Dalam catatan Dr. Adian Husaini bahwa para penganut paham pluralisme di Indonesia, kemudian mengembangkannya dalam bahasa-bahasa yang lebih sederhana, menarik, dan provokatif. Seolah-olah, pluralisme agama adalah keharusan, yang wajib dipeluk oleh setiap pemeluk agama, menggantikan paham lama (eksklusivisme). Siapa yang tidak menganut paham ini bisa dicap sebagai anti-pluralitas dan antitoleransi. Lebih jauh, dipropagandakan bahwa semua agama adalah jalan menuju keselamatan. Tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan.
Lebih jauh Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa penyebaran paham pluralisme agama ditengah masyarakat muslim dapat dilihat sebagai bagian dari upaya Barat mengglobalkan nilai-nilainya, dan meneguhkan hegemoninya, atau upaya kalangan misionaris Kristen untuk melemahkan keyakinan kaum Muslim. Dalam soal penyebaran pluralisme, Barat dan misionaris Kristen-Yahudi dapat memiliki titik temu misi untuk mencegah ‘fanatisme’ kaum muslim dalam memegang keyakinan agamanya.
Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang ada, dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang ‘anti-agama’. Tetapi sungguh sulit dipahami dengan akal sehat, jika banyak cendekiawan dari kalangan Muslim yang latah dan ikut-ikutan perilaku Barat dalam ‘membunuh agama’ mereka sendiri. Karena paham pluralisme agama –yang mengakui kebenaran semua agama—adalah paham yang jelas-jelas membunuh konsep teologi Islam. Islam datang untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut agama sebelumnya dan agama lain.
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwa tahun 2005, paham Pluralisme Agama masih terus disebarluaskan oleh pemeluknya. Selain karena ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar umat beragama, paham ini memang laku dijual. Sebab, paham ini sangat laku ditawarkan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat (NGO) Barat. Karena itulah, bisa dipahami jika paham ini termasuk isu favorit di kalangan kaum liberal. Salah satu program utama liberlisasi Islam di Indonesia, menurut Greg Barton, adalah penyebaran paham Pluralisme Agama.
Penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia memang melibatkan pendanaan yang sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional Barat seperti The Asia Foundation, dan dari pemerintah AS sendiri. Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta (http//www.usembassyjakarta.org/bhs/laporan/indonesia laporan deplu-AS, html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul “Dukungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004-2005.”
Dalam disertasi Dr. Anis Malik Toha dinyatakan bahwa ada kaitan erat antara teori-teori pluralisme agama dengan ideologi sekularisasi dan globalisasi.Menurutnya teori-teori pluralisme agama tersebut sejatinya adalah bagian dari proses sekularisasi dan globalisasi itu, atau merupakan salah satu mekanismenya. Solusi yang diberikan Islam terhadap problem pluralitas agama bertumpu pada penegasan jatidiri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang serba meliputi kehidupan manusia. Sementara solusi-solusi non-Islami adalah kebalikannya sama sekali. Di samping kepalsuan dan kelicikannya, solusi-solusi ini menuntut biaya yang teramat mahal, yakni lunturnya identitas keagamaan yang otentik, penelikungan dan peminggiran agama-agama, bahkan menuju ke penguburan agama-agama yang ada untuk selamanya.

V. Nativisme
Persoalan pokok di bidang sosial-budaya yang dihadapi oleh umat Islam adalah dampak dari masyarakat industrial. Salah satunya ialah dengan munculnya nativisme. Nativisme adalah kepercayaan dan anutan-anutan yang dianggap berasal dari nenek moyang yang dilestarikan secara turun temurun. Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan yang dikenal sebagai “warisan nenek moyang” dan kesederhanaan berfikir, dan bukan dari sifat-sifat tercela yang membuat penganutnya jauh dari cahaya ilahi. Tidak semua warisan nenek moyang itu perlu ditinggalkan, selama tidak bertentangan dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang seperti itu dapat saja dilestarikan. Bahkan dapat dikembangkan secara baik-baik dengan jiwa baru, yakni jiwa Islam.
Terdapat hubungan kepentingan yang erat antara sekularisme dan nativisme. Hal ini terjadi karena gerakan nativisme menawarkan suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama dari cita-cita sekular. Spriritualisme-nativisme sampai batas tertentu mempunyai raison d’etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi psikologis terhadap perasaan tidak aman warga masyarakat industrial.
Terhadap nativisme, Islam mempunyai kepustakaan yang panjang yang mengungkap ketinggian spiritualitas Islam, sehingga secara teoritik sebenarnya ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasi persoalan spirituaisme itu. Demikian pula secara empirik, sifat-sifat paguyuban dari nativisme yang rindu pada masyarakat kecil, dan hubungan dekat, misalnya, akan dapat dipenuhi. Justru persoalan yang tersulit dalam mnghadapi nativisme adalah masalah kelembagaan. Tetapi karena sudah tersedia sumber daya kelembagaan dan manusia, persoalannya tinggal bagaimana mendekatkan para penganut nativisme pada lembaga-lembaga itu. Perlu diusahakan semacam sarasehan atau pertemuan tatap muka antara mereka dengan penganut tarekat dan ahli-ahli tasawuf. Meskipun pertemuan personal akan lebih penting bagi para penganut nativisme, sebab kebanyakan mereka hidup dalam lingkungan tertutup dan jauh dari sumber bacaan. Jadi mereka lebih percaya pada hubungan personal daripada hubungan impersonal melalui bacaan.
Nativisme kebanyakan didukung oleh keturunan priyayi (aristokrat) yang kemudian menjadi birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya Islam. Karena jarak sosial antara priyayi dan santri semakin dekat, maka dapat diharapkan bahwa perkemb-angan sejarah sendiri akan cenderung untuk menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. Proses yang natural ini akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif . Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju kearah ini patut dikembangkan, sekalipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan dakwah.
VI. Kesimpulan
Dari uraian dimuka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejak abad ke-1 H atau ke-7 M bangsa Indonesia telah berusaha meletakkan identitasnya sebagai sebuah bangsa yang religius. Dibuktikan oleh adanya proses dakwah Islam di kepulauan Nusantara.
2. Tentu dalam usaha dakwah Islam tersebut mengalami banyak tantangan antara lain dengan munculnya berbagai paham baik yang berasal dari Barat maupun paham yang terdapat secara lokal. Yaitu : Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme Agama, dan Nativisme.
3. Dalam menghadapi tantangan dakwah yang berupa paham-paham tersebut maka dakwah Islam harus terus dilanjutkan dengan peningkatan secara kuantitas maupun kualitas. Hendaknya dakwah Islam dilakukan baik dengan pendekatan struktural maupun kultural. Tentu harus didukung oleh para pegiat dakwah yang memiliki kompetensi keilmuan, dedikasi, dan integritas moral yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Awwas, Irfan Suryahardi. 2002. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. (Yogyakarta: Wihdah Press).
Al-Ghadban, Munir. 1992. Manhaj Haraki. (Jakarta: Robbani Press).
Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press).
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 2007. Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
Husnan, Ahmad.tt. Tantangan Penerapan Syariah Islam. (Surakarta: Isy Karima).
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2001. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
____________. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Khairul Bayan).
Luth, Thohir. 2005. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. (Jakarta: Gema Insani Press).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. (Yogyakarta: Jalasutra).
Qutb, Sayyid. 2008. Fiqh Pergerakan. (Yogyakarta: Uswah).
Rasyid, Daud. 2006. Reformasi Republik Sakit. (Bandung: Syamil).
___________. 2006. Pembaharuan Dan Orientalisme Dalam Sorotan. (Bandung:Syamil).
Suneth, A. Wahab dan Syafruddin Djosan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani Press).

Sabtu, 05 Maret 2011

Menggagas Pendidikan Yang Progeresif


Pendidikan progresif berlandas pada progresivisme yang beranggapan bahwa pendidikan harus didasarkan pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang paling baik belajar apabila berada dalam situasi kehidupan nyata dengan orang lain.Dengan pandangan demikian, guru perlu menyajikan bukan hanya bacaan dan hafalan saja, tapi juga pengalaman dunia nyata dan aktivitas yang berpusat pada kehidupan peserta didik.
Untuk itulah perlu disiapkan mentalitas guru/ustadz yang bersedia untuk terus belajar sehingga kuaitas pembelajaran menjadi lebih baik yang pada akhirnya mutu keluaran pendidikan juga akan menjadi baik. Menyadari hal tersebut diatas pada hari rabu tanggal 2 Maret 2011 diadakakan diskusi bertempat di Gasebo Pondok Pesantren Darut thoyyibah, yang dipadu oleh Gus Pur, Mba Wien dan Penanggungjawab Bidang Pendidikan LSU Bina Insani ( Ustadzah Yani ).

Rapat Bidang Dakwah " Mengajak Kepada Kebenaran dan Menebar Kebajikan "

Sebuah perencanaan yang matang akan menjadi peta jalan (road map) kegiatan dakwah sehingga pelaksanaan agenda dakwah akan lebih fokus dan terkontrol, efektif, efisien dan komprehensif-integratif. Selain itu aktivitas dakwah yang dijalankan melalui perencanaan yang disusun matang (by design) akan dapat memberikan kepercayaan diri pada para aktivis dakwah karena mereka merasa menjalankan sebuah pekerjaan yang telah teruji secara konseptual.Melihat manfaat besar yang dapat dicapai oleh dakwah melalui sebuah perencanaan maka Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni cukup tepat ketika meletakkan perencanaan sebagai salah satu dari instrumen penting non-materil (al-wasā’il al-ma`nawiyah) dalam mencapai tujuan-tujuan dakwah.

Menyadari pentingnya Perencanaan Dakwah, Pada Hari Ahad 6 Maret 2011 Bidang Dakwah LSU Bina Insani menggelar rapat rutin, Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Ustadz Bambang selaku kordinantor Bidang Dakwah dan dihadiri sekitar 25 Relawan/Dai yang tergabung dalam Bidang Dakwah LSU Bina Insani.

BITA Menyelenggarakan Acara " Bercerita Dengan Kak Bimo "