Selasa, 12 April 2011

Bersama Yayasan Bina Insani Membangun Kembali Peradaban Islam

Oleh: Bambang Purwanto
I.Pendahuluan.
Dakwah merupakan upaya (proses) mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami, memfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan secara optimal, atau dengan menafsir surat Al-An’am ayat 153, dakwah itu adalah menciptakan kehidupan (al-hayat) fi dhilalil Qur’an. Tak satu sudutpun dari kehidupan manusia Muslim lepas dari kontrol Qur’an, pengawasan Allah SWT. Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Al-Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.
Dengan memahami dakwah sebagaimana dimuka maka dakwah bukan hanya ajakan untuk membersihkan jiwa dan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan semata. Andaikan dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu. Mereka bisa menangkap bahwa dakwah baru ini mengancam eksistensi ideologi mereka yang sudah ratusan tahun,mengancam sistem kekuasaan yang sudah mapan, dan mengancam sisi-sisi lainnya. Itulah yang mengakibatkan reaksi yang sangat kuat dari pihak Quraisy. Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya.
Penamaan din sebagai Islam dan sebaliknya penamaan Islam sebagai din yang begitu teliti turut membawa pengaruh kepada konsep din yang biasanya diartikan secara sempit sebagai institusi agama. Sejarah membuktikan bahwa bagi agama-agama selain Islam, dan khususnya dalam sejarah peradaban Barat, din itu tetap menduduki ruang sempit pada salah satu aspek dalam kehidupan manusia, tanpa harus mempengaruhi aspek kehidupan yang lain. Maka terjadilah pemisahan yang kentara antara ruang agama dan ruang publik, antara gereja dan politik, antara kehidupan spiritual dan sekular, antara kota Tuhan dan kota dunia dan seterusnya.
Berbeda dengan Islam, Nabi Muhammad saw. yang membawa Din Al-Islam adalah seorang yang berhasil mengharmonikan antara kehidupan beragama dan bernegara. Apabila beliau berhijrah dari Mekah ke kota yang bernama Yatsrib pada tahun 622, kota ini kemudian bertukar nama menjadi Madinah.
Madinah dari segi bahasa adalah kota atau city, tetapi madinah juga adalah tempat yang subur bagi melaksanakan din itu sendiri. Disinilah kaitan antara din dan madinah, yang juga mempunyai akar kata yang sama; dal, alif, dan nun.
Yayasan Bina Insani adalah sebuah lembaga nirlaba yang berjuang untuk membangun kembali peradaban Islam. Ini dapat dilihat dari visi lembaga tersebut yaitu terwujudnya masyarakat madaniah di bawah naungan ridha Allah. Dengan visi tersebut Bina Insani berusaha mewujudkannya melalui pelaksanaan misi, program, dan aksinya. Dalam tulisan ini akan dibahas usaha pembangunan kembali peradaban Islam oleh Yayasan Bina Insani. Apa pengertian peradaban Islam? Apa saja landasannya? Sejauhmana urgensi kelompok seide dalam mewujudkan peradaban tersebut? Apa saja langkah-langkah yang dilakukan untuk membangun Peradaban Islam. Beberapa pertanyaan tersebut akan dijawab dalam uraian berikut.
II. Pengertian Peradaban Islam
Untuk dapat memahami pengertian peradaban Islam dapat merujuk pada beberapa pendapat dari para ahli. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan, dan dipraktikkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram, dan damai.
Pendapat lain dari Kuntowijoyo bahwa peradaban Islam yang disebutnya sebagai peradaban tauhid adalah peradaban yang bersandar pada ketentuan-ketentuan Allah untuk hal-hal yang primer menyangkut soal akidah, ibadah, syariat, dan akhlak. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, struktural politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan, batasnya ialah akhlak al-karimah.
Menurut Cahyadi Takariawan peradaban Islam disebutnya sebagai peradaban makrifat. Pengertiannya adalah peradaban orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar dari sumber yang benar. Peradaban orang-orang yang mengenal Allah (ma’rifatullah) dan mengenal Rasulullah (ma’rifaturrasul). Sebuah peradaban dari masyarakat beriman, yang menjadikan keimanan sebagai landasan hidup sehari-hari.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian peradaban Islam dimuka maka dapat disimpulkan bahwa peradaban Islam adalah sebuah peradaban yang bersumber dari wahyu Allah. Untuk lebih jelasnya maka dapat dibandingkan misalnya dengan pengertian peradaban Barat. Menurut Naquib al-Attas bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang dibangun atas unsur-unsur budaya, filsafat, dan nilai-nilai Yunani dan Romawi kuno, Judaisme, Kristen, dan tradisi sejumlah bangsa Eropa. Masih menurut Naquib al-Attas bahwa peradaban Barat adalah sebuah peradaban yang memiliki sifat-sifat asasi :
1. Berdasarkan falsafah dan bukan agama
2. Falsafah yang menjelmakan sifatnya sebgai humanisme, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta,dan
3. Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragik. Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Dari sini pula dapat dipahami mengapa menurut al-Attas antara peradaban Barat dan peradaban Islam yang terjadi adalah satu kondisi yang disebut “permanent confrontation” (konfrontasi permanen).
III. Landasan Peradaban Islam
Jika mengacu pada pendapat Cahyadi Takariawan bahwa peradaban Islam itu berlandaskan pada ma’rifatullah dan ma’rifatur rasul. Landasan pertama disebutnya sebagai landasan esensial dan landasan kedua disebut dengan landasan operasional. Dalam kaitan ini amat penting direnungkan pendapat Abul Hasan Ali An-Nadwi bahwa dunia akan rusak dilanda kebobrokan moral dan kebiadaban, ketika umat Islam mengalami kemunduran. Dan tidak ada sebab-sebab yang lebih utama dari kemunduran umat Islam itu selain dari tidak tertanamnya jiwa tauhid dalam diri seorang muslim. Tidak dipahaminya La ilaha illallah dengan benar; inilah yang membuat kaum muslimin hilang kewibawaannya.
Sesungguhnya makrifat merupakan tangga pertama keimanan. Di atas makrifat itu justru harus ditegakkan syariat. Makrifat adalah pengetahuan, pengenalan, dan pemahaman. Dia merupakan kunci untuk bisa mengimani Allah secara benar dan sempurna. Dengan demikian, makrifat bukan lawan dari syariat, sebagaimana dipersepsikan oleh sebagian masyarakat kita.
Manusia sebagai makhluk tidak dapat mengenal Allah secara langsung, namun bisa mengenal melalui apa-apa yang Allah sampaikan kepada manusia, baik berupa hasil perbuatan Allah (af’al)-Nya yang disebut ayat kauniyah maupun hasil dari penuturan-Nya yang dikenal sebagai ayat qauliyah. Ayat-ayat kauniyah berupa alam semesta dengan segala macam isi dan fenomenanya adalah bentuk pewartaan keberadaan Allah.
Keyakinan akan keesaan Allah sering disebut sebagai tauhid. Ulama membagi tauhidullah menjadi tiga pembahasan, yakni tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat, dan tauhid uluhiyah. Pembagian ini mencerminkan af’al (perbuatan) dan sifat Allah. Af’al dalam hal rububiyah (rububiyatullah) yang didalamnya terkandung pengertian tentang sifat kekuasaan Allah sebagai malik (mulkiyatullah) dan keyakinan akan kekuasaan Allah sebagai ilah (uluhiyatullah).
Kata rububiyah berasal dari akar rabb, yaitu Dzat yang menghidupkan, mematikan, menciptakan, memberi rizki, mengolah, mengatuir, dan menguasai alam semesta. Tauhid rububiyah menunjukkan sebuah keyakinan terhadap keesaan Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang melakukan perbatan (af’al) tersebut.
Fenomena kealaman secara keseluruhan menjelaskan tentang hakikat rububiyah. Fenomena mekarnya bunga, tanaman yang hidup, tumbuh, membesar, berbunga, dan berbuah; memancarnya air dari dalam tanah, mengalir melalui sungai-sungai, menyatu di lautan, menguap, menjadi awan dan turun lagi ke tanah setelah ditiup angin, adalah fenomena rububiyah.
Namun, keyakinan ini tidak cukup hingga di sini, sebab hakikatnya, orang-orang musyrik jahiliah juga meyakini rububiyatullah ini sebagai keyakinan turun-temurun sejak dulu. Seperti yang dicatat dalam beberapa ayat al-Qur’an antara lain dalam : Surat Yunus ayat 31, Surat Luqman ayat 25, Surat Al-Ankabut ayat 63, dan Surat Al-Mu’minun ayat 84-87.
Demikianlah, orang musyrik itu memiliki keyakinan rububiyatullah. Karenanya, untuk menjadi seorang mukmin harus dilanjutkan pada keyakinan mulkiyatullah.
Kata mulkiyah berasal dari akar mulk. Dari akar kata itu pula terbentuk kata malik. Tauhid mulkiyah berarti sebuah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang menguasai alam semesta ini, dengan penuh hak penetapan peraturan atas kehidupan. Tidak ada sekutu dalam kekuasaan Allah di alam semesta ini.
Dengan sifat rububiyah-Nya, Allah berhak menentukan apa saja untuk makhluknya. Sebagai malik (Yang Memiliki), Allah adalah raja atau penguasa. Raja menjadi berfungsi sebagai penguasa manakala ia adalah pemimpin yang dipatuhi. Allah menjelaskan sifat-Nya sebagai pemimpin (Al-Waliy) absolut alam semesta, sebagaimana antara lain terungkap dalam Surat al-Isra ayat 111.
Pemimpin dikatakan baru bertindak sebagai pemimpin jika aturan yang dibuatnya dipatuhi dan diamalkan. Allah adalah Al-Hakim (yang menentukan aturan hidup manusia), seperti dinyatakan dalam Surat Al-An’am ayat 57.
Kalau setiap orang telah paham dan beriman tentang sifat Allah sebagai Al-Waliy (pemimpin) dan Al-Hakim (pembuat peraturan), maka setiap apapun yang dilakukan oleh hamba harus diselesaikan dengan kehendak dan aturan-Nya. Oleh karenanya, Allah harus menjadi tujuan kehidupan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-An’am ayat 162-163.
Demikianlah keyakinan mulkiyatullah ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah. Sebagai bukti pengakuan oramng mukmin bahwa Allah adalah Tuhan dan Malik, maka ia akan tunduk dan sujud kepada Allah dalam seluruh dimensi kehidupannya. Allah satu-satunya yang ia sembah, ia cintai, ia ikuti seluruh perintah-Nya, dan ia tinggalkan seluruh larangan-Nya. Inilah ujung dari tauhid rububiyah dan tauhid mulkiyah, yakni tauhid uluhiyah.
Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah. Dalam bahasa Arab, kata ilah memiliki akar kata a-la-ha yang memiliki arti antara lain: tyenteram, tenang, lindungan, cinta, dan sembah. Semua makna ini sesuai dengan sifat-sifat dan kekhususan Dzat Allah. Seperti yang dimuat antara lain dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28.
Di antara makna ilah yang paling asasi adalah makna ‘abada yang mempunyai beberapa arti, antara lain hamba sahaya (‘abdun, patuh, dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan agung (al-ma’bud) , serta selalu mengikutinya (‘abada bihi). Jika arti kata-kata ini diurutkan, maka akan menjadi susunan pengertian yang sangat logis, yakni jika seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu, maka ia akan mengikuti, memuliakan, mengagungkan, mematuhi, dan tunduk padanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki.
Oleh karena itu, pengertian kalimat La ilaha illallah telah mencakup keselruhan af’al dan sifat Allah. Jika diperinci, maka kalimat tauhid itu mengandung makna: tiada pencipta selain Allah, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada penguasa selain Allah, tiada pemimpin selain Allah, tiada hakim selain Allah, dan tiada sesembahan selain Allah.
Asma’ adalah jamak dari kata ismun, yaitu nama-nama. Dengan demikian, tauhid asma’ wa shifat berarti keyakinan bahwa Allah adalah esa dalam nama[-nama dan sifat-sifat-Nya. Kita diperintahkan untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang disampaikan sendiri oleh Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, apa adanya, tanpa menambah, mengurangi, menolak, mentakwilkan, dan mengandaikan/permisalan.
Persaksian La ilaha illallah tidak akan dapat diwujudkan secara benar dalam kehidupan, jika tidak mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah. Oleh karana itu persaksian dan keimanan terhadap klerasulan Nabi Muhammad saw. dijadikan salah satu dari dua kalimat syahadat, yang menjadi pintu gerbang seseorang untuk memasuki agama Islam.
Rasulullah saw. adalah contoh bteladan yang utama dalam kehidupan Muslim, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 21.
Keteladanan yang diberikan Rasulullah saw. ini bersifat total. Baik terkait soal ibadah maupun muamalah.Demikianlah dalam kehidupan Muslim, Rasulullah adalah figur utama, satu satunya teladan yang dicintai, ditaati, dan diikuti. Inilah yang dimaksud dengan Tauhidul Uswah.
IV. Urgensi Kelompok Seide
Dalam catatan Hamid Fahmy Zarkasyi dengan mengutip pandangan Ibnu Khaldun tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai dari suatu “komunitas kecil”. Dan ketika komunitas itu membesar, akan lahir umran besar.
Masih menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo, dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umran bagi Ibnu Khaldun di antaranya adalah berkembangnya teknologi, kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, dan kesenian. Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Perlu dicatat, tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium transformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadis-hadis Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Yang jelas, Ashab al-Suffah adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.
Dari pokok-pokok pemikiran di muka mengantarkan betapa urgen adanya kelompok seide dalam kerja besar yang dilakukan oleh Yayasan Bina Insani. Sehingga jika dipetakan siapa saja mereka itu maka disamping para pengurus dan para relawan juga dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas. Di sinilah barangkali dapat dipahami betapa strategis adanya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal dan kerja-kerja dakwah baik dakwah di internal lembaga maupun dakwah ke masyarakat luas.
V. Beberapa Langkah Menuju Peradaban Islam
Menurut Hamid Fahmy Zarkasy bahwa usaha membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu. Kedua, memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam.
Dalam kaitan ini pandangan Naquib al-Attas patut diperhatikan :
“Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesunguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah. Orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebuadayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain”.
Apa yang disimpulkan oleh al-Attas adalah benar adanya. Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Dalam kaitan usaha membangun kembali peradaban Islam dengan berbasis konsep ilmu dan pandangan hidup menurut Islam maka Yayasan Bina Insani telah melakukan beberapa langkah. Ini dapat dilihat dalam salah satu misi Bina Insani. Yaitu memberikan layanan dalam dakwah dan pendidikan yang inovatif. Sebagai realisasi dari misi tersebut maka Bina Insani di samping menyelenggarakan pendidikan secara formal maupun non formal juga penyebarluasan pemahaman terhadap para wali murid dan para nasabah BMT Bina Insani tentang konsep ilmu menurut Islam serta materi tentang ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, dan ma’rifatul Islam.
Sementara ini memang penyelenggaraan pendidikan formal oleh Bina Insani baru sampai tingkat dasar dan menengah. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab, secara strategis dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap hikmah Ilahiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama, dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam. Barangkali pendapat al-Attas ini dapat menjadi bahan pemikiran khususnya bagi para pengurus Yayasan Bina Insani dan para relawannya untuk merealisasikan sebuah universitas di masa depan.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertangung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas.
Selain itu, universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara, universitas adalah tempat di mana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia.
Masih menurut salah seorang murid al-Attas tersebut bahwa sebenarnya pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah, jika sistem pendidikan tinggi, terutama universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi, maka kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Dalam pandangan al-Attas bahwa universitas Islam itu mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’. Seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.
Dengan meminjam istilah Kuntowijoyo maka langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Yayasan Bina Insani selama ini merupakan ikhtiar menjadikan Islam bisa empiris. Artinya berbagai konsep Islam baik terkait dengan ekonomi, politik, sosial dan budaya tetap hanya sebagai seperangkat teori belaka jika tidak ada institusi yang mendukungnya. Sekali lagi dengan tampilnya lembaga-lembaga pendidikan dan keuangan di lingkungan Bina Insani merupakan bukti keseriusan untuk mewujudkan Islam yang empiris itu.

VI. Kesimpulan
Dari uraian di muka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Yayasan Bina Insani dengan visi, misi, program dan aksinya merupakan lembaga nirlaba yang berusaha membangun kembali peradaban Islam.
2. Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam dengan bersumber pada wahyu Allah.
3. Landasan peradaban Islam ialah ma’rifatullah sebagai landasan esensial dan ma’rifatur rasul sebagai landasan operasional.
4. Sebuah keniscayaan adanya kelompok seide dalam usaha pembangunan kembali peradaban Islam oleh Yayasan Bina Insani. Artinya ide tersebut bukan hanya harus diemban oleh para pengurus dan para relawan tetapi harus mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
5. Tampilnya lembaga-lembaga pendidikan dan keuangan Bina Insani merupakan bukti dari Islam yang empiris. Dan adanya lembaga pendidikan tinggi Bina Insani di masa depan hendaknya menjadi agenda besar bagi para pengurus dan para relawannya.

DAFTAR PUSTAKA

Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).
Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah umat Islam Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
__________. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana).
Suneth, A. Wahhab dan Syafaruddin Djossan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).
Takariawan, Cahyadi. 2003. Dialog Peradaban: Islam Menggugat Materialisme Barat. (Solo: Intermedia).
Zarkasyi, Hamid Fahmy, dkk. 2010. On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam. (Semarang: Unissula Press).

Tidak ada komentar: