Selasa, 26 April 2011

Di Bawah Naungan Demokrasi: Kekayaan Alam untuk Asing

oleh Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Khilafah pada 27 April 2011 jam 12:47

Satu lagi contoh sikap pemerintah menganut asas liberalisme dalam pengelolaan migas. Hingga tulisan ini dibuat pemerintah belum menetapkan siapa yang akan menjadi operator blok Migas West Madura, setelah masa kontrak eksplorasi blok tersebut berakhir 6 Mei yang akan datang.

Sekedar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki oleh Pertamina (50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya masa kontrak tersebut, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd masing-masing sebesar 12,5 persen (tempointeraktif, 19/4/11). Meski bukan pemegang saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola oleh Kodeco perusahaan minyak asal Korea Selatan.

Sikap pemerintah sejak dulu nampak lebih berpihak kepada swasta khususnya asing ketimbang Pertamina dalam mengelola Blok Migas tersebut. Pertama, Pertamina sejak Mei 2008 telah lima kali meminta kepada pemerintah agar blok West Madura tersebut sepenuhnya dikelola oleh BUMN tersebut. Sayangnya hingga kini Pemerintah belum mengabulkan permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham dari Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment Ltd (PLI) hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang transparan.

Kedua, porsi saham Pertamina pada West Madura adalah yang paling besar, namun kenyataannya yang menjadi pengelola adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya berada pada level 13-14 ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan sanggup menyedot minyak dari ladang itu hingga 30 ribu barel per hari.

Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) cukup besar yakni 22,22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG (Kabarbisnis.com, 21/4/11). Jika diasumsikan harga minyak mentah sebesar US$ 100 per barrel dan gas US$ 4 per MMbtu maka nilai potensi migas blok tersebut mencapai Rp 28 triliun rupiah. Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari maka cadangan tersebut baru habis selama enam tahun. Setelah dipotong cost recovery US$ 10 per barel, kekayaan yang dapat diraup sekitar Rp 4 triliun setiap tahunnya. Dengan demikian, menyerahkan pengelolaan tersebut kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator.

Inilah ironi negara yang kaya migas namum pengelolaannya justru didominasi pihak asing. Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibandingkan perusahaan asing yang ada. Dengan kata lain sebenarnya Pertamina memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola potensi migas di tanah air. Meski demikian, karena terpasung dengan regulasi yang kapitalistik khususnya UU Migas No 22 Tahun 2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta termasuk asing, bahkan cenderung dianaktirikan. Walhasil kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya.

Potensi Besar

Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara yang amat kaya. Tanah subur yang sangat baik untuk pertanian, hutan tropis yang mengandung jutaan kubik kayu, lautan yang kaya ikan dan potensi laut lainnya. Berbagai barang tambang strategis juga tertimbun di bawah bumi Indonesia.

Sekedar ilustrasi, berdasarkan Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM, total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MMSTB (million standard tanker barrel). Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara itu cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. Indonesia juga kaya batu bara atau terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara mencapai 126 miliar ton. Indonesia juga kaya dengan energi panas bumi (geotermal) yang tersebar di berbagai pejuru nusantara potensinya mencapai 28,1 GW. Barang tambang seperti nikel, emas, perak, timah, tembaga dan biji besi juga jumlahnya sangat melimpah.

Dinikmati Asing

Sayangnya, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh negara lain ketimbang penduduk Indonesia. Berdasarkan dari Neraca Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38% diekspor ke negara lain. Ironisnnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35% dari total produksi dalam negeri. Ini karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh swasta termasuk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak terus dinaikkan agar sesuai dengan harga internasional.

Demikian pula dengan gas alam Indonesia, sudahlah produksinya dimopoli swasta asing, sebagian besar hasilnya justru dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta BOE (barrel of oil equivalent) pada 2009, hampir 60% diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12%) dan dalam bentuk LNG 48%. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19%), PLN (10%), dan lain-lain. Padahal dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama dialami PLN. Akibat kekurangan gas PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya jauh lebih mahal. Sumber energi seperti batubara justru juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN dijual dengan harga internasional. Mahal dan langkanya sumber energi tersebut membuat biaya listrik dan harga-harga barang menjadi lebih mahal. Ujung-ujungnya rakyat yang menanggung akibatnya.

Demikian pula dengan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah dan nikel juga dimonopoli swasta. Sejumlah BUMN memang ikut menjamah kekayaan tersebut namun peran mereka makin terpinggirkan. Padahal jika barang tambang tersebut dikelola oleh negera maka kontribusi terhadap pendapatan negara akan sangat besar. Dari perhitungan data produksi barang tambang tahun 2008 untuk emas, perak dan biji besi, tembaga, timah, nikel, feronikel, dan batu bara dikalikan dengan harga masing-masing di pasar internasional maka kekayaan yang dapat diperoleh sebesar Rp 388 triliun. Jika ditambah dengan minyak dan gas maka nilainya mencapai Rp 1,031 triliun. Angka ini tentu lebih besar dibandingkan dengan kontribusi migas dan pertambangan pada APBN 2008 sebesar Rp 365 triliun. Bahkan nilai tersebut lebih besar dari APBN 2008 sendiri yang besarnya hanya Rp 962.5 triliun (sumber: Evaluasi Kinerja Sektor SDM, 2008, Kementerian ESDM).

Bisa dibayangkan jika kekayaan alam Indonesia dikelola sesuai dengan tuntunan syariah. Barang-barang tambang yang depositnya melimpah tersebut akan dikelola oleh negera untuk kepentingan rakyat. Indonesia tentu perlu tergantung pada pajak yang sangat mencekik rakyat atau utang yang cicilan pokok dan bunganya membebani APBN saban tahun. Dengan dana tersebut berbagai infrastruktur khususnya pendidikan, kesehatan, layanan sosial, dapat dikembangkan dan disediakan dengan biaya murah bahkan dalam hal tertentu dapat gratis. Dengan demikian pengembangan sumber daya manusia akan menjadi lebih optimal.

Meski demikian bayangan tersebut tentu tak akan pernah terwujud selama Indonesia masih diatur dengan sistem Kapitalisme. Padahal sistem tersebut tidak hanya kontradiktif dengan ideologi Islam, namun juga terbukti gagal mensejahterahkan rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya menyatukan hati, pikiran, dan langkah untuk mengganti sistem tersebut dengan mewujudkan sistem Khilafah Islam, sistem pemerintahan Islam yang menjalankan roda pemerintahan termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam berlandaskan Al Quran dan As-sunnah [ ]

Tidak ada komentar: