Senin, 27 Juni 2011

Hafidz Ibnu Hajar: Bijak Menyikapi Perbedaan

Oleh Thariq

Ia lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9 tahun sudah mampu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).

Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.

Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun, yang dijuluki olah para ulama sebagai Qomus As Sunnah (Kamus Sunnah). Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.

Kepakaran beliau dalam berbagai disiplin ilmu cukup diakui, hingga beberapa ulama seperti Imam As Suyuthi dan As Sakhawi menggelarinya dengan sebutan Syaikh al-Islam, hingga As Sakhawi menulis buku khusus tentang Ibnu Hajar yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.

Kisah antara Ibnu Hajar dan Karibnya, Badruddin Al 'Aini

Mereka berdua adalah sahabat dekat. Badrududdin Al ‘Aini pernah mengundang Ibnu Hajar agar berkunjung ke ‘Ainatab, dan Ibnu Hajar membacakan untuknya tiga hadits, satu dari Musnad Ahmad dan yang lain dari Sahih Muslim. Begitu pula ‘Aini, ia datang ke majelis imla’ Ibnu Hajar di Halab.

Sedangkan Badrud Din Al ‘Aini lahir di ‘Ainatab, meninggal di Mesir pada tahun 855 H, muhadits, muarikh bermadzhab Hanafi, penulis ‘Umdatul Qari (syarh Sahih Bukhari).

Walau mereka sahabat dekat, akan tetapi satu sama lain tetap saling mengkritisi. Ibnu Hajar sendiri telah memeriksa beberapa karya ‘Aini, salah satunya adalah Al Mu’ayid Syaikhul Mahmudi. Ibnu Hajar menemukan kurang lebih 400 bait yang tidak beraturan

Sebagaimana juga Ibnu Hajar mengkritik tarikh kabir ‘Aini, Aqdul Juman Fi Tarikh Ahluz Zaman. Berkata Ibnu Hajar dalam muqadimah Imba’ul Ghumar: “Aku telah memeriksa tarikh (sejarah) milik Qodhi Badruddin Al ‘Aini, ia menyebutkan bahwa rujukan dalam penulisan tarikhnya adalah Ibnu Katsir, akan tetapi setelah Ibnu Katsir berhenti menulis tarikh dikarenakan wafat, maka rujukannya berganti ke Tarikh Ibnu Duqmaq. Hingga ‘Aini menukil satu lembar penuh secara berurutan, malah kemungkinan ia bertaklid terhadap kesalahan yang ada di dalamanya. Dan aku pun terheran-heran, bahwa Ibnu Duqmaq menyebutkan beberapa peristiwa yang ia saksikan, akan tetapi ‘Aini menulisnya apa adanya, padahal peritiwa itu terjadi di Mesir dan dia jauh di ‘Ainatab. Akan tetapi aku tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh kesalahannya. Malah aku mengutip darinya apa yang tidak aku dapati, yaitu kejadian-kejadian yang kukira ‘Aini menyaksikan sedangkan aku tidak mengetahuinya.” (Imba’ul Ghumar hal.4-5, vol.1)

Lihat, Ibnu Hajar tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh kekliruan-kekliruan orang yang telah mengkritiknya, ia juga tetap bisa berbuat obyektif, yaitu tetap merujuk karya ‘Aini tentang hal yang ia tidak mengetahuinya.

Al ‘Aini dalam Umdatul Qari juga mengoreksi karya Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, menukil dari buku itu satu-dua lembar, lalu menghitung kesalahan-kesalahannya. Lalu Ibnu Hajar menjawab secara inshaf dengan dua buku, yang berjudul Al Istinshaf ‘Ala ‘Atha’in Al ‘Aini, dalam buku tersebut disebutkan bahwa ‘Aini mengritik khutbah Ibnu Hajar atas Fathul Bari dan ‘Aini mengutamakan Umdatul Qari atas syarh Sahih Bukhari sebelumnya, yaitu Fathul Bari. Maka Ibnu Hajar menjawab kritikan tersebut dan para ulama’ yang hidup di masanya pun membenarkan Ibnu Hajar. Buku ke dua Ibnu Hajar yang menjawab kritikan ‘Aini adalah Intiqadhul I’tiradh, yang berisi sanggahan terhadap kritikan ‘Aini terhadap Fathul Bari, akan tetapi Allah memanggilnya sebelum ia menyempurnakan bukunya tersebut (lihat juga Al Jawahir Wad Dhurar, hal. 224-226).

Walaupun demikian Ibnu Hajar tetap mencantumkan nama Al ‘Aini dalam Mu’jam Shuyukh-nya, Al Majma’ Al Mu’asis Lil Mu’jamil Fahras. Begitu pula ia menulis riwayat ‘Aini di Rafi’il ‘Ishri ‘An Qudhati Mishri-nya, secara ringkas. Dari sini bisa terlihat jelas, walau ada perselisihan antara keduanya, Ibnu Hajar tetap mengakui bahwa Al Aini adalah gurunya

Sebagaimana ‘Aini juga mengambil faidah dari Ibnu Hajar, khususnya ketika ia menulis Rijal At Thohawi. Dinukil dari Hafidz As Sakhawi: “…dan aku menyaksikanya (Al ‘Aini) bertanya kepada syaikh kami ketika belau hendak meninggal tentang masmu’at (pelajaran yang disimak) dari Al Iraqi, lalu Ibnu Hajar menjawab: “Hal itu tidak berada dalam buku, akan tetapi aku menulisnya menyertai riwayat hidupnya (Al Iraqi) dalam mu’jamku yang telah aku nukil dari beliau, dan hal itu tidak sedikit, periksalah, jika engkau telah menemukan, kita bisa coba mencari sisanya (Badruddin Al ‘Aini li Ma’tuq, hal. 169-170).

Ibnu Hajar juga menulis sebuah risalah yang bernama Al Ajwibah Al Ainiyah ‘Alal As’ilah Al ‘Ainiyah, yang berisi jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan-pertanyaan ‘Aini Ini menunjukkan kemulyaan akhlak kedua imam besar tersebut, walau saling mengkritik akan tetapi keduanya masih saling menerima ilmu satu sama lain. Dan perbedaan yang ada di kalangan keduanya tidak menghalangi Ibnu Hajar untuk tetap membantu Al ‘Aini dalam masalah keilmuan. Bagitu juga Al ‘Aini, ia tidak gengsi untuk bertanya kepada Ibnu Hajar tentang persoalan yang berhubungan dengan ilmu.

Dan sikap kedua tokoh umat ini banyak berbeda jika dibandingkan dengan sebagian penuntut ilmu saat ini yang keilmuannya amat jauh di bawah kedua . Di saat terjadi khilaf di antara mereka, anatar keduanya enggan bertegur sapa, atau bahkan saling kecam satu-sama lain, padahal mereka masih berada dalam khilaf yang masih ditoleransi dalam Islam.
Sumber:http://www.inpasonline.com/

Kamis, 23 Juni 2011

Proagram Pemberdayaan Ekonomi Bina Insani

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Bina Insani
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh LSU Bina Insani yang digawangi oleh Afitiani Tanti. SP, Sukarmi, S,Pt terus mengalami inovasi dan perkembangan yang menggembirakan. Bila pada masa masa awal program ini di titik beratkan pada pembentukan lembaga ekonomi kerakyatan dalam hal ini berupa pembentukan koperasi serba usaha Bina Insani dan Lembaga Keuangan Mikro BMT Bina Insani mulai tahun kemarin pemberdayaan ekonomi masyarakat mulai dititik beratkan pada pada pembentukan dan penguatan Kelompok Belajar Usaha ( KBU ).
Konsep dasar Kelompok Belajar Usaha adalah sebuah pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil yang bertumpu pada kelompok kelompok ekonomi masyarakat. Kelompok kelompok ekonomi ini beranggotakan 3 sampai dengan 5 orang pelaku ekonomi. Kelompok kelompok tersebut kemudian diberi pembinaan tentang kewirausahaan secara berkelanjutan dan diberi pinjaman modal 1,5 juta perkelompok dengan masa cicilan selama 10 bulan, pinjaman ini merupakan pinjaman tampa bunga.

MENYIAPKAN GENERASI PENERUS

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. Annisa:9)

Menjadi seorang pengkader bukanlah sebuah tugas yang mudah. Usaha melaksanakan kaderisasi merupakan kerja berantai yang tidak dapat dibebankan hanya kepada satu generasi saja, dan tugas ini harus dilaksanakan berkesinambungan. Berbicara kaderisasi, dimanapun itu letaknya, pada hakikatnya adalah sebuah usaha untuk menyiapkan sebuah generasi penerus yang kuat. Kaderisasi juga merupakan suatu proses pendidikan, karena tidaklah mungkin dapat tercipta sebuah generasi yang kuat jika tidak disokong melalui sebuah proses pendidikan, transfer ilmu pengetahuan, dan pemberian bekal yang cukup dan dapat membuatnya mampu bertahan menghadapi realitas zamannya.

Perhatian terhadap pentingnya generasi penerus yang unggul ini sangat mendesak untuk kita perhatikan. Bukankah dengan mudah kita saksikan kondisi generasi muda kita sekarang yang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian/tawuran, pencurian, narkoba, AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang makin banyak dan makin marak bahkan telah menjadi sesuatu hal yang menjadi biasa dilakukan. Tentu bukan saja prilaku generasi muda kini yang kian memprihatinkan yang kita bisa kita saksikan, tetapi juga prilaku generasi tua dan para pemimpin yang merupakan produk pendidikan generasi masa lalu yang kurang baik juga tidak kalah bobroknya. Selain perbuatan zina, narkoba, juga dalam bentuk perbuatan keserakahan terhadap alam, korupsi, penyelewengan wewenang dan jabatan, saling jegal dalam memperebutkan kekuasaan dan harta benda juga makin banyak kita saksikan.

RAKER LSU BINA INSANI TAHUN 2011/2012

LSU Bina Insani sebagai sebuah lembaga kemasyarakat selalu dituntut untuk terus meningkatkan jangkauan dan kualiatas pelayanan dalam rangka mencapai Visi Misi Lembaga yang telah ditetapkan. Hal tersebut menuntut untuk melakukan refleksi pecapaian kinerja sebagai bahan untuk menyusun perencanaan pada tahun tahun berikutnya.

Refleksi terhadap pencapaian visi dan misi serta pencapain dari target target yang telah di tentukan. Beberapa parameter penting dijabarkan untuk mengukur, apakah lembaga semakin dekat dengan visi dan apakah misi sudah dijalankan sesuai dengan visi tersebut? Ssejauhmana stakeholders merasakan manfaat dari kegiatan yang sudah lembaga lakukan? Apakah kebutuhan (demand) yang muncul sebanding dengan kapasitas yang sedang lembaga bangun? Bila terjadi kesenjangan dalam hal itu, maka lembaga perlu segera mengatasinya. Dari segi sumberdaya manusia pun perlu diperiksa, apakah cukup untuk mendukung pelaksanaan program? Apakah networking lembaga sesuai dengan perkembangan keadaan?

Itulah beberapa agenda yang dibahas dalam rapat kerja LSU BINA INSANI dalam ranfka menyusun Platform dan Program Kerja tahun 2011/2012. Kegiatan Rapat Kerja dilaksanakan pada hari Kamis 23 Juni 2011 bertempat di Pondok Pesantren Daruththoyibah Karanganyar yang di ikuti oleh segenap pengurus LSU BINA INSANI.

Dalam Rapat Kerja tersebut telah disepakai platform dan desain besar kegiatan untuk tahun 2010/2012 sedang untuk detail kegiatan disepakati untuk dirapatkan pada masing masing bidang dalam waktu dekat.

Terimakasih atas kinerja tahun 2010/2011, semoga kerja keras dan perjuangan segenap sivitas LSU BINA INSANI dan semua pihak yang membatu dan bermitara menjadi amal baik dan mendapat balansan dari Alloh.
Banyak hal yang harus dikerjakan dengan lebih baik, Permasalahan yang harus diurai dan diselesaikan serta tantangan yang harus dihadapi dalam tahun 2011/2012.

Minggu, 19 Juni 2011

Workshop Team Building

Sebagai sebuah lembaga yang berkonsentrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat Bina Insani dituntut untuk mempunyai team work yang solid dan kompok. Untuk itulah selama dua hari segenap pengurus melakukan workshop Team Building bertempat di Bapelkes Gombong.
Secara umum Workshop Tim Building LSU Bina Insani dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran dan menumbuhkan kesadaran akan pentingknya Team Work yang kuat dalam merelaisasikan Visi, Misi dan Program Lembaga .
Tujuan dilaksanakannya Workshop Tim Building LSU Bina Insani adalah sebagai berikut :
1.Memberikan informasi yang valid dan akurat tentang kebijakan LSU Bina Insani.
2.Mendorong tumbuhnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya kerja kerja secara team.
3.Mendorong senergi dan kerjasama antar komponen LSU Bina Insani dalam memcapai Visi, Misi dan Program Lembaga.
Materi yang dibahas dalam workshop tersebut antara lain :
1.Konsep dasar oraginsasi dan pengorganisasian
2.Konsep dasar Team Work
3.Membangun Sinergi
4.Mengurai Konflik ditempat Kerja.
Dengan Fasilitator dari Korkot P2KP Kabupaten Kebumen dan Jaring Jogjakarta..
Peserta Workshop Tim Building berjumlah 75 orang, terdiri dari :
Unsur Pengurus LSU Bina Insani
Unsur Pengurus Lembaga Otonom
Unsur Pengurus / Staf Koperasi Bina Insani
Unsur Pengurus / Staf BMT Bina Insani
Pengurus / staf PKBM Bina Insani
Kepala sekolah / guru dilingkungan lembaga Bina Insani
Semoga dengan diadakan workshop tersebut kinerja lembaga menjadi semakin baik dalam melayani umat.

Peduli Bencana

Sebagai rasa simpati dan empati terhadap korban gempa pada hari kamis 8 Oktober 2009 LSU Bina Insani memberangkatkan 9 relawan menuju Jakarta, selanjutnya ke Padang untuk membantu korban gempa di Sumatra Barat. 9 relawan tersebut telah mendapat diklat sar sehingga memang mempunyai kemampuan menangani korban bencana baik pada tahap evakuasi maupun tahap rehabilitatif, direncankan mereka akan bertugas selama dua bulan di Sumbar.

'BITA" MEYELENGGARAKAN LOMBA ANTAR TK

" BITA " Bina insani Teacher Asosiation pada telah dengan sukes menyelenggarakan lomba antar TK/PAUD yang selenggaran di SD IT Logaraitma Karanganyar - Kebumen. Lomba tersebut diikuti oleh TK/PAUD dari Kec. Sruweng, Karanganyar, Gombong dan Sempor. Berbagai macam lomba dan permainan edukasi di lombakan dalam kegiatan tersebut. Menurut Panitia Penyenggara Kegiatan Lomba Antar TK/PAUD merupakan salah satu dari agenda " BITA " pada tahun 2010. Dengan lomba ini diharapkan akan terjalin silaturahmi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan khusunya pendidikan untuk anak usai dini.

Training Kemandirian Muslimah

Dalam rangka menguatkan peran muslimah baru baru ini LSU Bina Insani telah mengadakan Training Kemandirian Muslimah, Training diadakan di mushola Al Hikmah dengan peserta 25 orang. Dalam trinaing tersebut menghadirkan nara sumber Dra. Sri Sukarti selaku manager BMT Bina Insani dan Mustika Aji selaku sekertaris LSU Bina Insani.
Dalam trainng terbut dismapaikan tentang dasar dasar kewirausahaan yang disampaikan dengan menarik oleh Dra. Sri Sukarti. Dalam makalahnya belia menyampaikan pentingnya muslimah mempunyai usaha/penghasilan sebagai penunang pendapatan suami.
Pada sesi selanjutnya disampaikan tentang program pemeberdayaan ekonomi LSU Bina Insani yang dibawakan oleh sdr mustika aji, dalam kesempatan tersebut sekaligus di londcing program Kelompok Belajar Usaha. Progaram kelompok Belajar Usaha adalah salah satu program pemberdayaan LSU Bina Insani yang dilakukan dengan pendekatan kelompok. Sasaran program ini adalah :
1. Kelompok ekonmi kecil
2. Kelompok yang baru merintis usaha
3. Kelompok perempuan.
Kelompok kelompok sasaran itu nantinya akan pendapatkan pembinaan kewirausahaan secara lebih intensif dan pinjaman modal tanpa bunga.

Seminar Remaja Bina Insani


Forum Remaja Bina Insani sebuah Forum yang digagas dan difasilitasi oleh LSU Bina Insani sebagai wadah untuk aktifitas dan pemberdayaan anak dan remaja dikabupaten kebumen pada tanggal 26 September 2009 telah mengadakan Seminar yang bertempat di Aula Koperasi Unit Desa Kec. Gombong. Seminar yang dihadiri oleh sekitar seratus remaja, mendatangkan narasumber EKO.P dari PUSHAM UII Jogjakarka dengn moderator sdr. Yusuf dai FURBI. Seminar berlangsung sangat menarik dan disambut antusias oleh peserta yang ditandai dengan banyaknya peserta yang mengajukan pertanyaan.
Selamat untuk kamil, baro, farah, Yusuf, segenap panitia dan teman teman FURBI yang lain. Kedepan, jangan lupa masih banyak agenda dan aktifitas yang harus dijalankan untuk mendorong terciptanya peradaban yang lebih baik.
Materi dapat di klik dibawah !

JEJAK ADVOKASI KEBIJAKAN

Sebagai lembaga swadaya masyarakat LSU Bina Insani mempunyai beberapa bidang garapan antara lain adalah advikasi kebijakan publik. Bidang ini fokus pada bagaiman membela kepentingan kaum yang lemah banyak ragam kegiatan yang telah dilakukan dari seminar, diskusi publik sampai pada langkah langkah aksi untuk membela dalam rangka membela kau lemah. Foto kenangan lama ketika melakukan advokasi berkaitan undang undang sistem penddikan nasional.

Pelepasan Perserta Didik PAUD PKBM BINA INSANI Karangjambu

Pagi itu Kamis 16 Juni 2011 Wajah wajah ceria anak didik PAUD PKBM BINA INSANI Karangjambu Kec. Sruweng tampak begitu kelihatan, mereka berkumpul dan berbaris rapi dihalaman PAUD bersiap untuk mengikuti kirab dengan menggunakan becak hias dalam rangka pelepasan siswa tahun ajaran 2010/2011.

Dan Ketika Ustadzah Ratna Dwi Oktaviani, S. Pd dengan menggunakan speker berkata " Anak anak acara kirab akan segera dimulai, silakan menuju becaknya masing masing ".
Tiba tiba, mereka berhamburan menuju becak yang telah dihias dengan sangat menarik.
Suasana yang lucu dan ceria khas anak anak karena ada anak yang tertukar becaknya.

Setelah semua siap, kirabpun dimulai. sepanjang jalan anak anak tampak begitu ceria.
Pada akhir acara panitia perpisahan membagi bagikan hadiah bagi siswa siswa berprestasi serta hadiah bagi abang abang becak yang berpartisipasi dalam acara kirab pelepasan PAUD PKBM BINA INSANI.

Kamis, 16 Juni 2011

ISLAM PEMBANGKIT GERAKAN NASIONALISME DI INDONESIA

Oleh : Bambang Purwanto
I.Pendahuluan
Ditinjau dari perspektif religio-politik, sejarah Indonesia modern bisa dilukiskan sebagai sejarah ketegangan abadi antara proyek sekularisasi dan islamisasi negara dan masyarakat. Konflik antara kedua arus ini berjalan sedemikian akut, karena proyek sekularisasi di negeri ini pada mulanya bukan merupakan evolusi sosial kaum pribumi yang tumbuh secara alamiah, melainkan hasil rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan terpenting Bumiputera.
Dalam konteks tersebut, sekularisasi sejak awal telah saling berhadapan dengan islamisasi. Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, dan sejarah. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam. Basis afirmasi dari nasionalisme religius seperti ini adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan, dan menjadi agen utama yang memproduksi “bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik.
Dalam perspektif yang lain yakni dari kalangan ahli sejarah dikatakan bahwa pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 Islam di Indonesia adalah identik dengan kebangsaan. Saat itu orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi, apakah orang Melayu, orang Jawa atau yang lain. Di antara orang Batak yang ketika itu kebanyakan terdiri dari orang-orang yang berkepercayaan perbegu, yang meninggalkan agamanya untuk masuk Islam, dikatakan mengubah “kebangsaan” atau “kesukuannya” menjadi Melayu. Demikian pula halnya dengan orang-orang Cina di Sumatera yang masuk Islam; mereka pun disebut menjadi Melayu. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam.
Sebenarnya, sosialisasi istilah nasionalisme pada abad ke-20 M, juga dipelopori pengenalannya terhadap masyarakat Indonesia, oleh Central Sjarikat Indonesia (CSI) dalam National Congres Central Sjarikat Islam Pertama --- 1 e Natico di Bandung pada 17-24 Juni 1916. Di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka atau Gedung Konferensi Asia Afrika Bandung, Central Sjarikat Islam menuntut Pemerintahan Sendiri (Zelf Bestuur) atau Indonesia Merdeka.
Dampak dari National Congres Central Sjarikat Islam pertama menjadikan Indische Partij yang didirikan pada 1912 M, tiga tahun kemudian mengubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP), 1919 M. National Indische Patij pimpinan Douwes Dekker Danoedirdjo Setiaboedhi di Bandung. Sebelas tahun kemudian, lahirlah Persarikatan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Boeng Karno di Bandung, 1927 M. Boeng Karno pada 2 Mei 1951 menyatakan, “Terutama sekali Tjokroaminoto guru saja, jang menanamkan pengaruh jang dalam pada djiwa saja jang dahaga”. Ditinjau dari nama awal Perserikatan Nasional Indonesia, dari penyamaan nama “Perserikatan” terbaca betapa kuatnya pengaruh Serikat Islam di masyarakat Indonesia saat itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperalisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri. Islam di Indonesia adalah simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Tulisan sederhana ini akan membahas tentang Islam dan nasionalisme di Indonesia. Apa pengertian nasionalisme itu? Bagaimana pendapat kalangan ulama di Indonesia tentang nasionalisme? Mengapa Islam sebagai pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia? Uraian di bawah ini akan berusaha menjawab beberapa persoalan tersebut.
II. Pengertian Nasionalisme
Menurut Rifyal Ka’bah bahwa nasionalisme atau paham kebangsaan dalam bahasa Arab modern disebut qawmiyyah, dari kata qaum yang berarti kinsfolk (karib kerabat), fellow tribe men (orang sesuku), tribe (suku), race (ras), people (orang sebagai kelompok) dan nation (bangsa). Dari asal-usul bahasa Arab ini,bangsa Indonesia mengenal kata kaum dengan pengertian suku bangsa, sanak saudara, keluarga dan golongan.
Kata qaum (bangsa) banyak sekali digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjuk berbagai pengertian di atas. Salah satu pengertian qaum dalam Al-Qur’an adalah masyarakat atau suku bangsa dari mana para nabi dan rasul sepanjang sejarah berasal.Bangsa-bangsa berdiri karena ada hal-hal yang membuat mereka bersatu sebagai kelompok. Persatuan tersebut mungkin karena mereka berasal dari asal usul yang sama, hidup di lingkungan yang sama, mengalami nasib yang sama, atau mempunyai cita-cita yang sama, atau lainnya. Antara lain disebutkan tentang bangsa Nuh, bangsa Luth, bangsa Ibrahim, bangsa Musa, bangsa Yunus, bangsa Hud, bangsa Saleh, bangsa ‘Isa dan lain-lain. Para utusan Alloh ini sebenarnya tidak ingin menggugat-gugat nilai-nilai kelompok yang sudah terbentuk, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur, keadilan dan kejujuran. Nilai-nilai positif yang sudah terbangun, mereka teruskan dan nilai-nilai negatif, mereka hentikan.
Bangsa-bangsa dalam Al-Qur’an disebutkan dengan sifat-sifat positif dan negatif. Mengenai sifat-sifat negatif, kitab Alloh ini menyatakan tentang bangsa yang zalim (al-qawm azh-zalimin), bangsa pembangkang (al-qawm al-kafirin), bangsa fasiq (al-qawm al-fasiqin), bangsa penjahat (al-qawm al-mujrimin), bangsa sesat (al-qawm adh-dhalin), bangsa boros (qawmun musrifun), bangsa perugi (al-qawm al-khasirin), bangsa yang tidak paham akan kebenaran (qawmun la yafqhun), bangsa yang tidak mengetahui kebenaran (qawmun la ya’lamun), bangsa tersihir (qawmun mashurun), bangsa keadilan (qawmun ya’dilun), bangsa suka bertengkar (qawmun khasimun), bangsa durhaka (qawmun thaghun), bangsa yang tidak berpikir (qawmun la ya’qilun), bangsa terpecah (qawmun yufraqun), bangsa bermusuhan (qawmun ‘adun), bangsa yang disiksa atau diuji (qawmun yuftanun).
Sebaliknya, Al-Qur’an juga bertutur tentang bangsa beriman (qawmun yu’minun), bangsa yang mendengar (qawmun yasma’un), bangsa yang berpikir (qawmun ya’qilun), bangsa yang berkontlempasi (qawmun yatafakkarun), bangsa yang berguna (qawmun shalihun), bangsa penyembah Alloh (qawmun ‘abidin), bangsa yang bersyukur (qawmun yasykurun), bangsa yang bertaqwa qawmun yattaqun), bangsa yang dicintai Alloh (biqawmin yuhibbuhum wa yuhibbunahu), dan lain-lain.
Sifat-sifat yang baik disebutkan, tentu saja agar bangsa-bangsa mengikutinya, dan sifat-sifat yang buruk disebutkan, agar bangsa-bangsa menghindarinya. Inti ajaran agama adalah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Tujuannya adalah agar bangsa-bangsa berhasil dalam misi membangun peradaban manusia di muka bumi. Inilah salah satu cara pembacaan terhadap kitab Alloh sebagai petunjuk bagi orang yang beriman dan bertaqwa.
Menurut Hamid Enayat dengan mengacu pada sejarah pemikiran politik dinyatakan bahwa istilah nasionalisme kadang-kadang merujuk pada suatu gerakan untuk mengawal kemerdekaan dan kebebasan bangsa terhadap agresi luar, dan kadang-kadang merujuk pula pada penegasan intelektual kemandirian dan identitas bangsa. Dalam catatan pakar politik Iran tersebut dengan mengutip pendapat para pemikir muslim pada abad ke-19 memahami istilah nasionalisme terutama dengan pengertian yang pertama, dan mengidentikkannya dengan patriotisme.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam Islam tentang kebangsaan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang juga diajarkan oleh para nabi dan rasul. Karena manusia dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, maka kebangsaan sebenarnya adalah suatu yang alami. Perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk tujuan pertarungan, persaingan tidak sehat dan saling bermusuhan, tetapi untuk mendorong ummat manusia dalam berprestasi, melakukan kebajikan dan usaha mendekatkan diri kepada Alloh (Al-Hujurat : 13).

III. Pendapat Ulama terhadap Nasionalisme di Indonesia
Untuk melihat bagimana pandangan ulama di Indonesia terhadap nasionalisme maka antara lain dapat merujuk pada pendapat H. Agus Salim. Dalam konggres Al-Islam luar biasa pada 24-26 Desember 1924 di Surabaya, H. Agus Salim menguraikan soal khilafah dalam Islam. Diuraikannya bahwa nasionalisme berdasarkan Islam ialah memajukan negeri dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Di samping H. Agus Salim terdapat H.O.S. Cokroaminoto yang juga berpendapat tentang nasionalisme. Bahwa Islam sepertujuh bahagian rambut pun tak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme ‘yang sejati’, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya nasionalisme yang sempit dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam, yakni sosialisme yang menghendaki persatuan manusia dikuasai oleh Alloh, dengan lantaran hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada utusan-Nya Nabi Penutup, Muhammad saw.
Dalam hubungan ini Salim menunjuk pada sikap Nabi Ibrahim yang mencintai tanah airnya dalam rangka pengabdian kepada Alloh, seperti ucapan yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37.
Di samping pandangan-pandangan dari kalangan Syarikat Islam di muka terhadap paham kebangsaan, Persis di Bandung juga mengemukakan pendapatnya melalui dua orang tokohnya yakni A. Hassan dan M. Natsir.
Dalam pandangan A. Hassan bahwa paham kebangsaan itu sama dengan ‘ashobiyah yakni rasa persatuan suku yang sangat mengikat sebelum persatuan Arab di bawah Nabi dan terutama diterapkan pada masa jahiliyah. Ia juga menambahkan bahwa orang Islam di Indonesia, karena mengikuti paham kebangsaan, menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Qur’an semua Muslimin adalah bersaudara. Hassan berpendirian bahwa orang yang mengambil asas dan hukum lain dari Islam itu, dipandang bukan Islam. Dalam penuturannya dia mengatakan begini :
Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam. Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara, dunia dan akhirat.
Islam tidak mengaku umatnya akan seseorang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan, Islam perintah umatnya (bukan umat lain) supaya mengejar kemerdekaan dan mengerjakan apa-apa yang berhubungan dengan itu, semata-mata karena Islam dan atas nama Islam.

Dalam pandangan M. Natsir dengan menelusuri perkembangan nasionalisme itu dari permulaannya dan mengambil kesimpulan tentang nasionalisme tersebut dari pandangan dan pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Katanya, bertahun-tahun sebelum pemakaian kata nasionalisme Indonesia, pada waktu berbagai organisasi, seperti Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond, dan sebagainya, membatasi keanggotaannya pada suku bangsa bersangkutan masing-masing, pergerakan-pergerakan yang berdasar kepada agama Allah semata-mata, sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan Indonesia. Lebih jauh masih menurut M. Natsir :
Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mukla-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-Islaman.

Memproyeksikan perkembangan di masa depan, Natsir bertanya apakah setelah Indonesia merdeka tujuan orang Islam sama dengan tujuan orang nasinalis yang netral agama. Menurutnya :
Tujuan kaum Muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya.
Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap netral kepada agama, yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam.

IV. Beberapa Faktor Penyebab Islam Sebagai Pembangkit Gerakan Nasionalisme
Dalam rentang sejarah Indonesia, Islam telah menyumbang amat banyak, bagi negeri ini. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam. Jasa Islam bagi keberkahan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain :
1. Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh tata negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku tata negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas ketika itu.
2. Solidaritas nasional, terjadi karena proses pengislaman nusantara sehingga menjadikan seluruh Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasonalisme.
3. Syariat Jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihadlah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan pada Komunisme, 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad.
4. Kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu banyak satpam.

Pada masa kerajaan-kerajaan Islam jaya, para ahli sejarah Belanda mencatat kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi di wilayah nusantara, sehingga mereka mampu membangun angkatan perang untuk mengusir penjajah Portugis dan Belanda dari wilayah mereka. Portugis dan Belanda yang terusir dari Sunda Kelapa dan lari ke Malaka, kemudian dengan sembunyi-sembunyi mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, seperti Blambangan di Banyuwangi, Jenggala di Kediri, dan Siliwangi di Jawa Barat.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperialisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri.
Masih menurut Ahmad Mansur Suryanegara dengan mengutip pendapat Donald Eugene Smith dalam Religions, Politics, and Social Change in the Third World, menyatakan bahwa ulama memegang peranan penting dalam memimpin perlawanan terhadap imperialis Barat dengan upayanya untuk pengembangan agama katolik dan Protestannya. Akibat imperialis Barat dengan identitas agama itu maka muncullah Islam di Nusantara Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Dengan demikian terbaca dari pendapat para sejarawan di muka bahwa keberadaan ulama dan santri dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional melawan imperialis Barat dengan menjadikan Islam sebagai simbol perjuangan merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Sehingga dengan ini pula dapat dipahami paling tidak ada tiga faktor mengapa Islam sebagai pembangkit nasionalisme di Indonesia sebagai berikut :
1. Secara internal, memang dalam ajaran Islam terdapat konsep tauhid sebagai inti ajarannya juga adanya konsep dakwah dan jihad yang dijadikan manhaj perjuangan dari kaum pergerakan Islam dalam menegakkan tauhid itu.
2. Disamping hal tersebut adalah terjadinya konsolidasi di kalangan ulama dan santri untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi para penjajah negeri ini.
3. Secara eksternal, umat Islam bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan imperialisme.

Meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia adalah ulama dan santri anehnya yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional adalah tanggal berdirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Padahal, sampai dengan Konggres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan konggres tersebut, Boedi Utomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw. Disinilah bisa dipahami pandangan dari Salimuddin tentang perlunya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sehingga upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional dalam penulisan Sejarah Indonesia dapat dihentikan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian dimuka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Nasionalisme dapat dipahami sebagai paham kebangsaan dan tidak bertentangan dengan Islam asal sesuai dengan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul.
2. Di kalangan ulama Indonesia paham tersebut diadaptasikan dengan ajaran Islam sehingga tidak sekular.
3. Islam dapat menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia disebabkan oleh adanya konsep tauhid sebagai inti ajarannya, dan juga adanya konsep dakwah dan jihad di dalam Islam sebagai manhaj untuk menegakkan tauhid itu, juga adanya konsolidasi oleh ulama dan santri dalam pergerakan Islam untuk melawan musuh-musuh tauhid dengan manhaj dakwah dan jihad, dan secara eksternal karena adanya tantangan dari kaum imperialis kafir.


DAFTAR PUSTAKA
Enayat, Hamid. 1988. Reaksi Politik Sunni dan Syiah : Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20. (Bandung : Pustaka).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta : Khairul Bayan).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam : Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di
Indonesia. (Yogyakarta : Jalasutra).
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta : LP3ES).
Salam, Solichin. 1963. Agus Salim Pahlawan Nasional. (Jakarta : Jayamurni).
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah I. (Bandung : Salamadani).
Majalah Risalah Mujahidin, Edisi 11 Th. 1 Sya’ban 1428 H/Agustus 2007 M.

Rabu, 15 Juni 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA BERBASIS MASJID

Oleh : Bambang Purwanto

I.Pendahuluan
Salah satu tren di era global adalah kemandirian. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu memenangkan persaingan. Bangsa yang mandiri terbentuk oleh masyarakat mandiri. Tentu dalam mewujudkan kemandirian itu dibutuhkan proses yang panjang. Sebuah proses yang menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah merupakan negara desa dengan jumlah desanya sebanyak 63.000-an desa. Berdasarkan sensus penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 80% tinggal di desa. Gambaran ini mengisyarakatkan bahwa pemberdayaan masyarakat desa perlu mendapat aksentuasi demi tercapainya perataan kemakmuran dan keadilan di seluruh Indonesia.

Salah satu tempat strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat desa adalah masjid. Masjid adalah jantung umat. Masjid adalah salah satu pilar meretas kebangkitan umat selain pesantren dan kampus. Keberadaan masjid merupakan poros aktivitas keagamaan di masyarakat. Masjid diharapkan pula menjadi mitra lembaga pendidikan formal (sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap masa depan generasi yang akan datang.
Jumlah masjid di Indonesia mencapai 800 ribu (Republika, Dialog Jumat 2010, hlm. 4) dan merupakan jumlah terbesar di dunia. Namun bila dicermati, kondisi kaum muslimin saat ini dimana masjid belum difungsikan secara optimal. Alangkah indahnya jika sekitar 800 ribu masjid di Indonesia dapat memberikan jawaban riil atas berbagai permasalahan umat. Setiap kumandang adzan mengalirkan kerinduan umat untuk datang mendekat seperti layaknya fungsi jantung bagi darah. Masjid seharusnya dapat dioptimalkan fungsinya sebagai ruang publik dan pusat peradaban umat.
Dalam tulisan sederhana ini akan dibahas pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Apa pengertiannya? Bagaimana memaksimalkan fungsi masjid sebagai medium pemberdayaan masyarakat desa? Siapa pelaku dari pemberdayaan masyarakat berbasis masjid itu? Apa tujuan dari usaha tersebut? Ini adalah beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam uraian berikut.
II. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Masjid
Untuk dapat memahami pengertian dari pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid maka perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pemberdayaan. Menurut Ambar Teguh Sulistiyani secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar ‘daya’ yang berarti kekuatan atau kemampuan. Dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan, dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat seperti yang diungkapkan oleh staf pengajar UGM tersebut intinya meliputi tiga hal, yaitu: pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), terciptanya kemandirian. Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid pengertiannya adalah proses untuk menjadikan masyarakat desa itu mandiri dengan mengambil pusat kegiatan di masjid.
Yang menarik dari pengertian pemberdayaan tadi adalah disana ada sebuah proses. Pengertian proses itu berarti menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah baik knowledge, attitude, maupun praktik menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan kecakapan-ketrampilan yang baik.
Dari pengertian di atas maka dapat dirumuskan bahwa pemberdayaan masyarakat berjalan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan-pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Selanjutnya dengan memahami pengertian pemberdayaan dan tahapan-tahapannya maka dapat dipahami bahwa tujuan dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian itu meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut.
III. Memaksimalkan Fungsi Masjid Sebagai Medium Pemberdayaan
Sebelum sampai pada bagaimana memaksimalkan fungsi masjid sebagai medium pemberdayaan maka ada baik dipahami terlebih dahulu pengertian masjid. Secara etimologi menurut Rohadi Abdul Fatah kata masjid artinya adalah tempat sujud dimaksudkan sebagai tempat sholat. Perkataan masjid berasal dari bahasa Arab, kata pokoknya adalah sujjudan, fi’il madinya sajada yang berarti ia sudah sujud. Sedangkan isim makannya adalah masjidan, atau diindonesiakan menjadi masjid. Sedangkan secara terminologi pengertian masjid adalah tempat pembinaan dan perjuangan umat Islam yang efektf dan efisien untuk meninggikan agama Allah.
Masih menurut Rohadi bahwa terdapat beberapa fungsi, yaitu :
1. Masjid adalah tempat ibadah (shalat).
2. Masjid adalah tempat berkumpul umat untuk membicarakan kepentingan bersama.
3. Masjid adalah tempat akad nikah.
4. Masjid adalah tempat menginap para musafir yang sedang bepergian jauh.
5. Masjid adalah pusat keagamaan dan kenegaraan.
6. Masjid adalah kubu pertahanan kaum muslimin.
7. Masjid adalah tempat menuntut ilmu.
8. Masjid adalah tempat perpustakaan atau gudang ilmu.
9. Masjid adalah tempat membaca Al-Qur’an.

Pendapat yang lain tentang fungsi masjid adalah dari KH. Hasan Basri :
1. Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Masjid adalah tempat kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri dan menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin dan keagamaan sehingga selalu dapat memelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadiannya,
3. Tempat membina ikatan jama’ah kaum muslimin di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
4. Tempat majlis ta’lim untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan umat Islam.
5. Tempat bermusyawarah kaum muslimin dalam memecahkan persoalan-persoalan di masyarakat.
6. Tempat konsultasi, mengajukan kesulitan serta meminta bantuan dan pertolongan.
7. Tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pemimpin umat.
8. Rasulullah pernah mengumpulkan dana, menyimpan harta benda dan membagikannya di masjid.
9. Rasulullah pernah membuat tenda untuk merawat orang yang luka di samping masjid.
10. Rasulullah melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial di masjid.

Agar masjid dapat secara maksimal berfungsi baik sebagai tempat beribadah maupun sebagai medium pemberdayaan maka diperlukan para pengurus masjid yang memiliki beberapa syarat. Menurut Rohadi sebagai pengurus masjid hendaknya memiliki syarat-syarat berikut :
1. Mempunyai watak yang positif yaitu memiliki syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin pada umumnya, terutama memiliki kewibawaan, kecakapan, dan keberanian.
2. Percaya pada Allah, percaya pada hari akhir, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat serta tidak merasa takut kecuali pada Allah.
3. Memiliki dan memahami pengetahuan tentang fungsi masjid menurut ajaran Islam serta hatinya cinta kepada masjid.
Jika mengacu pada konsep managemen masjid dari Kementerian Agama RI bahwa terdapat tiga aspek dalam mengelola masjid secara baik. Yakni aspek idarah (administrasi dan organisasi), aspek imarah (kemakmuran), dan aspek ri’ayah (pemeliharaan sarana dan prasarana). Dengan ketiga aspek tersebut diharapkan masjid dapat menjadi tempat yang kondusif bagi upaya-upaya penguatan masyarakat baik secara sosial-ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Memang untuk mewujudkan sebuah masjid dengan fungsinya yang maksimal dibutuhkan sumberdaya manusia yang kompeten dan rela untuk berkhidmat dalam pelayanan kepada umat melalui masjid, aliran dan dana yang lancar, dan dukungan semua pihak untuk merealisasikan usaha mulia tersebut.
IV. Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Masjid
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan secara bersama tentu melibatkan banyak pelaku. Demikian pula dalam pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Para pelaku didalamnya antara lain adalah masyarakat (jamaah masjid), dunia usaha, dan pemerintah desa (pemdes).
Memang tidak dipungkiri bahwa sementara ini sebagian anggota masyarakat dan elitnya yang nota bene mayoritas beragama Islam masih berpikir sekular. Dibuktikan dengan menjadikan masjid hanya sebagai tempat ibadah semata. Padahal fungsi masjid yang seharusnya lebih dari itu. Yakni masjid juga harus berfungsi sosial. Jadi secara real dinamika masjid bukan hanya diisi oleh pelaksanaan shalat dan bentuk-bentuk upacara keagamaan yang lain tetapi masjid juga sebagai tempat untuk meningkatkan kualitas umat baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya. Di sinilah dapat dipahami bahwa pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid merupakan sebuah keniscyaan.
Pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid merupakan sebuah kerja besar. Sehingga harus mendapat dukungan semua pihak yang ada di desa untuk dapat berjalan secara baik. Pelaku yang pertama adalah masyarakat itu sendiri. Karena merekalah yang menjadi subyek sekaligus obyek dari kegiatan tersebut. Dari masyarakatlah akan tampil kader-kader umat yang dapat berkhidmat untuk melayani umat melalui masjid. Dan dukungan mereka akan menghasilkan perubahan yang signifikan di tengah masyarakat seiring dengan proses pemberdayaan yang sedang berlangsung.
Disamping masyarakat itu sendiri maka unsur yang lain adalah pemerintah desa. Mereka ini adalah birokrasi yang paling rendah dan langsung berhadapan dengan dinamika masyarakat. Dukungan dari pemdes dalam bentuk regulasi dan juga aliran dana. Sehingga di desa akan dapat melahirkan perdes-perdes yang dapat membuka selebar-lebarnya praktek budaya masyarakat yang baik dan menutup rapat-rapat praktek budaya masyarakat yang buruk.
Pihak yang tidak bisa ditinggalkan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis masjid adalah dunia usaha. Karena dari merekalah baik dukungan SDM yang berkualitas maupun aliran dana yang lancar dapat diharapkan. Mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan ekonomi umat. Sehingga masyarakat minimal dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik.
V. Menuju Qaryah Thayyibah
Qaryah thayyibah hendaknya menjadi visi dari usaha pemberdayaan masyarakat desa berbasis masjid. Artinya orientasi dari proses pemberdayaan tersebut jelas dan dapat dipahami oleh para pelakunya. Bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan tersebut mengarah pada terbentuknya qaryah thayyibah. Secara mudah qaryah thayyibah dapat dipahami sebagai sebuah konsep masyarakat ideal.
Menurut Ali Nurdin dalam bukunya yang berjudul Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, dinyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik masyarakat ideal. Ciri-ciri umum terdiri atas:
1. Beriman
2. Amar Ma’ruf
3. Nahi Munkar

Masih menurut Ali Nurdin masyarakat ideal disamping memiliki ciri-ciri umum juga memiliki ciri-ciri khusus yang terdiri atas :
1. Musyawarah
2. Keadilan
3. Persaudaraan
4. Toleransi

Sebuah ayat yang biasanya dijadikan pijakan dalam pembicaraan tentang qaryah thayyibah adalah Surat Al-A’raaf ayat 96, artinya :
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Dari ayat tadi maka dapat dipahami bahwa syarat terbentuknya qaryah thayyibah itu adalah iman dan takwa. Dari landasan normatif tersebut maka secara operasional menurut Fuad Amsyari maka seyogyanya suatu wilayah dapat menjadi qaryah thayyibah jika memenuhi tiga syarat :
1. Adanya kepemimpinan yang Islami.
2. Adanya peraturan-perundangan yang Islami.
3. Adanya praktik budaya masyarakat yang Islami.

VI. Kesimpulan
Dari uraian di muka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Pemberdayaan masyarakat berbasis masjid dapat dipahami sebagai sebuah proses untuk menjadikan masyarakat punya kompetensi keilmuan, attitude, dan ketrampilan untuk mandiri.
2. Agar masjid dapat menjadi medium pemberdayaan masyarakat hendaknya masjid dikelola oleh orang-orang yang berkhidmat pada pelayanan umat melalui masjid dengan managemen yang efisien dan efektif baik dalam aspek idarah, imarah maupun ri’ayah.
3. Usaha pemberdayaan masyarakat barbasis masjid hendaknya melibatkan masyarakat (jamaah masjid), dunia usaha, dan pemerintah desa.
4. Qaryah Thayyibah hendaknya menjadi visi dari pemberdayaan masyarakat berbasis masjid.


DAFTAR PUSTAKA

Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Nurdin, Ali. 2006. Qur’anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Erlangga).
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan. (Yogyakarta: Gaya Media).

Senin, 13 Juni 2011

Catatan Menjelang Raker 2011/2012

Tantangan LSU Bina Insani ke depan dalam upaya berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik bukanlah menjadi semakin ringan dan mudah. Capaian capaian keberhasilan yang diraih tidak boleh membuat terlena, berbangga diri tapi hendaknya membuat semakin bersyukur dan penyemangat untuk berkarya dan berjuang. Demikian juga dengan kegagalan dan kendala yang dialami tidak boleh menbuat lemah semangat, tapi harus menjadi bahan instropekesi dan pembelajaran yang berharga.
Pada tahun 2011/2012 setidaknya ada beberapa agenda yang mendesak untuk untuk dtangani dengan baik yaitu :
1. Konsolidasi Kelembagaan
2. Memperluas Jaringan Kemitraan
3. Peningkatan Mutu dan Perluasan Layanan Pendidikan dan Dakwah
4. Peningkatan Layanan Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kelembagaan Ekonomi
5. Memperkuat Kemandirian dan Pendanaan
Akhirnya hanya dengan niat yang lurus , semangat dan yang terus dipupuk, profesionalitas yang terus di tingkatkan dan pertolongan Alloh Visi dan Misi Lembaga ini akan tercapai.
Selamat menjalakan Raker 2010/2011, Kamis 16 Juni 2011.

Sabtu, 04 Juni 2011

Amalan di Bulan Rajab

Oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah [9] : 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H

***

Muhammad Abduh Tuasikal
www.muslim.or.id

Kamis, 02 Juni 2011

Penerimaan Siswa Baru TK AL ISLAM BINA INSANI Desa Candi Kec Karanganyar

Didiklah Anak-anakmu sekalian dengan sungguh sunguh kerena mereka akan hidup di suatu zaman yang bukan zamanu ( Al-Hadist )

Taman Kanak-kanak Al-Islam Bina Insani Desa Candi Kec. Karanganyar merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dikelola oleh LSU BINA INSANI. Di Lembaga ini Program pendidikannya mengintegrasikan sistem pendidikan TK Islam dengan TK modern, sehingga diharapkan penanaman noao nolao Agama, prilaku Islami dan pengebangan kemampuan kognitif,afektif dan psikomotorik dapat dipadukan sedini mungkin.
Bagi Bpk/Ibu/Sdr yang berdomisili di Kec. Karanganyar bagian utara segeralah daftarkan putra putri anda.