Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah Archeology of Knowledge diterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-Istishrāq. Hafriyat disini bermaksud archeology,
 sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Foucault dalam upayanya 
membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati Barat. Karya 
lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things.
 Kehadiran Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh 
Zawawi Bughurah dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001)
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup 
signifikan dalam pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di 
jelaskan oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr al-‘Arabi ‘ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal 159- 199)
Di
 antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan 
filsafat pos-modernisme, mungkin Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan 
Mohammad Arkoun (2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair, 
berada di garda depan. Kentalnya nuansa pos-modernisme dalam pikiran 
mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang mereka hasilkan. Disana 
kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang disadur 
dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti 
Michel Foucault. 
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-nya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi,
 yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sejarah 
Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme
 berpikir yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang 
dilakukan Foucault terhadap peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme,
 upaya ini disebut dengan genealogy masih merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault. 
Dalam
 upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide 
dari Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri 
menyebut episteme ini dengan ‘aql atau al-nizam al-ma‘rifi. 
Jadi ‘aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia untuk berpikir atau 
berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih 
merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya 
Arab kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh
 pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi episteme
 Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations 
that unite, at a given period, the discursive practices that give rise 
to epistemological figures, sciences,  and possibly formalized systems…” (Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191). 
Konsep
 epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya 
adalah jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur
 epsitemologinya, Arkoun membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik,
 Pertengahan, dan modern). Meski demikian, baik Jabiri maupun Arkoun 
keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam didominasi oleh nalar 
abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani. 
Relasi Ilmu-Kuasa 
Salah
 satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini 
adalah persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan 
konsep ini untuk membaca sepak terjang para orientalis. Said 
berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak sepenuhnya di dasari 
keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik. 
Jabiri
 juga menggunakan framework yang sama ketika membaca sejarah panjang 
intelektual Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani,
 irfani, dan burhani diatas tidak terlepas dari faktor-faktor 
sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode bayani 
murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika 
episteme ‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme ‘irfani ini 
sendiri menurut Jabiri berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah 
sebagai bagian dari strategi perang budaya mereka untuk merongrong 
kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri menuduh 
al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang 
bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya 
lewat pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu burhani. 
Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir 
bukan disebabkan kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi 
disebabkan oleh adanya trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan 
konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun 
mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci 
al-Qur’an. Arkoun mungkin intelektual Arab yang pertama membaca 
al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini. Tokoh kelahiran Aljazair ini 
menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia 
melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini 
merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan 
kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak. 
Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi yang 
selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu. 
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca warisan pemikiran Islam konsep logosphere
 yang dikembangkan Arkoun, diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas
 yang belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti 
yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk 
buku The Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu 
inti ajaran postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap 
otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi dari masa silam, norma-norma 
kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak adanya kemapanan
 (postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of 
cultural certainties). Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap 
otoritas akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis menganggap semua 
orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi mereka semua orang sama, 
berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau 
termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam 
tataran ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan 
Wahyu. Prof Naquib Al-Attas dalam hal ini benar ketika menyatakan sistem
 berpikir model skeptik seperti ini “is true only in the experience 
and consciousness of civilizations whose system of thought and value 
have been derived from cultural and philosophical elements aided the 
science of their times.” (Prolegomena, 3). Wallau a’lam. (***)
Sumber : http://www.insistnet.com/
Sumber : http://www.insistnet.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar