Minggu, 17 Juni 2012

Belajar dari Allohuyarham Dr. Mohammad Natsir


Oleh : Bambang Purwanto
“Tegaklah kamu selama hidup ini sebagai mujahid mempertahankan pendirianmu. Sebab sesungguhnya yang dinamakan hidup itu ialah tak lain dari pada aqidah dan jihad”. Bait di atas adalah penggalan dari syair Syauqi Beik yang dikutip oleh Allahuyarham Dr. Muhommad Natsir untuk mengakhiri pidato terakhirnya pada Silaturahmi dan Tasyakuran 24 tahun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang berlangsung di Jakarta 10-12 Dzulqa’idah 1411 H/24-26 Mei 1991 melalui video cassette dan tape recorder. Beliau tidak dapat menghadiri upacara tersebut karena beliau dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusuma Jakarta sejak 26 April 1991. (Majalah Al-Mujtama’ Edisi 3 Th I tanggal 17 Juli 2008). Meski seperti mimpi dan seolah jauh tak terperi, sosok Mohammad Natsir harus kita hidupkan kembali. Semangatnya, kerendahatiannya, kepakarannya, perhatian , dan kerja kerasnya, harus menyemangati umat Islam negeri ini dan harus menjadi ruh yang mampu meniupkan kebangkitan Indonesia. Dengan semangat teladan Natsir, kita tidak saja menjadi anak-anak yang dilahirkan zaman, tapi harus menjadi anak-anak yang melahirkan sejarah. Dr. Mohammad Natsir adalah seorang pejuang yang gigih menyuarakan Islam sebagai alternatif. Sejak dini telah mengingatkan bahaya sekularisme. Melalui kacamata Islam, ia mengupas peradaban, dengan prinsip Islam pula ia mempraktikannya dalam berpolitik. (Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, 2006). Dalam catatan Dr. Thohir Luth yang menulis disertasi tentang dakwah dan pemikiran beliau dinyatakan bahwa M. Natsir adalah salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi, dan juga sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi, dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Adapun sebagai seorang dai ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993. (Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, 1999). Mohammad Natsir lahir di Kampur Jembatan Berukir, Kecamatan Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat. Pada tanggal 17 Juli 1908, ia dilahirkan. Ayahnya, Idris Sutan Saripado, seorang asisten Demang di Bonjol, sekaligus juru tulis di kontrolir Maninjau, Sumatera Barat. Dan ibunya, Khadijah adalah seorang pendidik sejati yang ingin anak-anaknya tumbuh dewasa dengan Islam. Natsir kecil bersekolah di sekolah dasar sistem Eropa, sekolah dasar HIS, MULO sampai AMS. Di tahap ini, Natsir membaca buku banyak sekali dalam berbagai bahasa; Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. Sementara itu, dari bangku madrasah diniyyah, Natsir belajar Bahasa Arab dan Agama Islam. (Majalah Sabili Edisi Khusus 100 Tahun M Natsir). Bandung, Kota Kembang berjuluk Paris Van Java saat itu sudah dikenal sebagai kota modern. Kota berhawa sejuk itu menjadi tujuan para tuan tanah dan Meneer Belanda untuk berfoya-foya menghabiskan uang. Tempat hiburan, gedung bioskop, dan taman-taman bertaburan, tempat muda-mudi menghabiskan malam. Bandung, saat itu juga menjadi tempat mangkalnya para aktifis. Natsir muda yang hidup di tengah-tengah itu tak hanyut oleh gemerlapnya Bandung. Ia memilih larut dalam buku-buku pelajaran di tempat kostnya yang sempit di Jalan Cihampit, menghabiskan waktu di perpustakaan, dan berdiskusi dengan teman-teman satu organisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Di JIB inilah kiprah berorganisasi Natsir terus bersinar. Menurut Ustadz Syuhada Bahri ada tiga hal yang menonjol dari pribadi Allohuyarham Dr. Mohammad Natsir. Pertama, keikhlasan. Kedua, Keseriusan dalam bekerja. Ketiga, Kebersamaan. Masih menurut Ketua Dewan Dakwah sekarang tersebut bahwa salah satu contoh dari keikhlasan beliau antara lain ketika berpolemik dengan Soekarno. Soekarno tidak sakit hati karena bahasa yang dipakai santun, dengan argumen yang kuat dan tegas. Sebagai bukti keseriusan beliau dalam bekerja untuk umat antara lain saat beliau sudah berusia 80 tahun harus operasi besar. Itu ketika selesai mendampingi Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi di DDII. Waktu itu beliau belum makan, sehingga pembuluh darah di perutnya pecah. Akhirnya beliau dioperasi. Juga tentang kebiasaan beliau melibatkan banyak orang dalam memutuskan sesuatu. Seperti saat DDII harus menyesuaikan asasnya dengan asas tunggal saat itu. Sebenarnya beliau dapat memutuskan sendiri tetapi itu tidak dilakukannya, dibawa ke forum, kemudian musyawarah, semua pengurus DDII sampai yang ada di daerah diajak bicara. Masih menurut penuturan Ustadz Syuhada Bahri bahwa Allohuyarham selalu berpesan kepada jamaahnya, ada tiga kekuatan umat, yaitu masjid, kampus, dan pesantren.Ini adalah basis kekuatan Islam. Beliau meminta umat untuk memikirkan dan memberdayakan ketiga itu. (Majalah Al-Mujtama’ Edisi 3 Th I tanggal 17 Juli 2008). Barangkali pernyataan Herry Nurdi dengan mengutip salah satu tulisan Allohuyarham Dr. Mohammad Natsir patut direnungkan. Dalam buku kecil yang berjudul Peran dan Tanggung Jawab Para Ulama, Natsir menuliskan, “ Saya gembira sekali, beberapa yang hadir bukan saja golongan tua yang berambut putih, tapi juga kader muda yang bersemangat tinggi.Ini menjadi jaminan agar kita dengan berani bisa mengatakan, yang patah akan tumbuh dan yang hilang akan berganti. Usaha menegakkan syariat Islam ini tak boleh terhenti”. (Majalah Sabili edisi Khusus100 Tahun M Natsir).

Tidak ada komentar: