Kamis, 16 Juni 2011

ISLAM PEMBANGKIT GERAKAN NASIONALISME DI INDONESIA

Oleh : Bambang Purwanto
I.Pendahuluan
Ditinjau dari perspektif religio-politik, sejarah Indonesia modern bisa dilukiskan sebagai sejarah ketegangan abadi antara proyek sekularisasi dan islamisasi negara dan masyarakat. Konflik antara kedua arus ini berjalan sedemikian akut, karena proyek sekularisasi di negeri ini pada mulanya bukan merupakan evolusi sosial kaum pribumi yang tumbuh secara alamiah, melainkan hasil rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan terpenting Bumiputera.
Dalam konteks tersebut, sekularisasi sejak awal telah saling berhadapan dengan islamisasi. Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, dan sejarah. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam. Basis afirmasi dari nasionalisme religius seperti ini adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan, dan menjadi agen utama yang memproduksi “bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik.
Dalam perspektif yang lain yakni dari kalangan ahli sejarah dikatakan bahwa pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 Islam di Indonesia adalah identik dengan kebangsaan. Saat itu orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi, apakah orang Melayu, orang Jawa atau yang lain. Di antara orang Batak yang ketika itu kebanyakan terdiri dari orang-orang yang berkepercayaan perbegu, yang meninggalkan agamanya untuk masuk Islam, dikatakan mengubah “kebangsaan” atau “kesukuannya” menjadi Melayu. Demikian pula halnya dengan orang-orang Cina di Sumatera yang masuk Islam; mereka pun disebut menjadi Melayu. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam.
Sebenarnya, sosialisasi istilah nasionalisme pada abad ke-20 M, juga dipelopori pengenalannya terhadap masyarakat Indonesia, oleh Central Sjarikat Indonesia (CSI) dalam National Congres Central Sjarikat Islam Pertama --- 1 e Natico di Bandung pada 17-24 Juni 1916. Di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka atau Gedung Konferensi Asia Afrika Bandung, Central Sjarikat Islam menuntut Pemerintahan Sendiri (Zelf Bestuur) atau Indonesia Merdeka.
Dampak dari National Congres Central Sjarikat Islam pertama menjadikan Indische Partij yang didirikan pada 1912 M, tiga tahun kemudian mengubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP), 1919 M. National Indische Patij pimpinan Douwes Dekker Danoedirdjo Setiaboedhi di Bandung. Sebelas tahun kemudian, lahirlah Persarikatan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Boeng Karno di Bandung, 1927 M. Boeng Karno pada 2 Mei 1951 menyatakan, “Terutama sekali Tjokroaminoto guru saja, jang menanamkan pengaruh jang dalam pada djiwa saja jang dahaga”. Ditinjau dari nama awal Perserikatan Nasional Indonesia, dari penyamaan nama “Perserikatan” terbaca betapa kuatnya pengaruh Serikat Islam di masyarakat Indonesia saat itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperalisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri. Islam di Indonesia adalah simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Tulisan sederhana ini akan membahas tentang Islam dan nasionalisme di Indonesia. Apa pengertian nasionalisme itu? Bagaimana pendapat kalangan ulama di Indonesia tentang nasionalisme? Mengapa Islam sebagai pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia? Uraian di bawah ini akan berusaha menjawab beberapa persoalan tersebut.
II. Pengertian Nasionalisme
Menurut Rifyal Ka’bah bahwa nasionalisme atau paham kebangsaan dalam bahasa Arab modern disebut qawmiyyah, dari kata qaum yang berarti kinsfolk (karib kerabat), fellow tribe men (orang sesuku), tribe (suku), race (ras), people (orang sebagai kelompok) dan nation (bangsa). Dari asal-usul bahasa Arab ini,bangsa Indonesia mengenal kata kaum dengan pengertian suku bangsa, sanak saudara, keluarga dan golongan.
Kata qaum (bangsa) banyak sekali digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjuk berbagai pengertian di atas. Salah satu pengertian qaum dalam Al-Qur’an adalah masyarakat atau suku bangsa dari mana para nabi dan rasul sepanjang sejarah berasal.Bangsa-bangsa berdiri karena ada hal-hal yang membuat mereka bersatu sebagai kelompok. Persatuan tersebut mungkin karena mereka berasal dari asal usul yang sama, hidup di lingkungan yang sama, mengalami nasib yang sama, atau mempunyai cita-cita yang sama, atau lainnya. Antara lain disebutkan tentang bangsa Nuh, bangsa Luth, bangsa Ibrahim, bangsa Musa, bangsa Yunus, bangsa Hud, bangsa Saleh, bangsa ‘Isa dan lain-lain. Para utusan Alloh ini sebenarnya tidak ingin menggugat-gugat nilai-nilai kelompok yang sudah terbentuk, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur, keadilan dan kejujuran. Nilai-nilai positif yang sudah terbangun, mereka teruskan dan nilai-nilai negatif, mereka hentikan.
Bangsa-bangsa dalam Al-Qur’an disebutkan dengan sifat-sifat positif dan negatif. Mengenai sifat-sifat negatif, kitab Alloh ini menyatakan tentang bangsa yang zalim (al-qawm azh-zalimin), bangsa pembangkang (al-qawm al-kafirin), bangsa fasiq (al-qawm al-fasiqin), bangsa penjahat (al-qawm al-mujrimin), bangsa sesat (al-qawm adh-dhalin), bangsa boros (qawmun musrifun), bangsa perugi (al-qawm al-khasirin), bangsa yang tidak paham akan kebenaran (qawmun la yafqhun), bangsa yang tidak mengetahui kebenaran (qawmun la ya’lamun), bangsa tersihir (qawmun mashurun), bangsa keadilan (qawmun ya’dilun), bangsa suka bertengkar (qawmun khasimun), bangsa durhaka (qawmun thaghun), bangsa yang tidak berpikir (qawmun la ya’qilun), bangsa terpecah (qawmun yufraqun), bangsa bermusuhan (qawmun ‘adun), bangsa yang disiksa atau diuji (qawmun yuftanun).
Sebaliknya, Al-Qur’an juga bertutur tentang bangsa beriman (qawmun yu’minun), bangsa yang mendengar (qawmun yasma’un), bangsa yang berpikir (qawmun ya’qilun), bangsa yang berkontlempasi (qawmun yatafakkarun), bangsa yang berguna (qawmun shalihun), bangsa penyembah Alloh (qawmun ‘abidin), bangsa yang bersyukur (qawmun yasykurun), bangsa yang bertaqwa qawmun yattaqun), bangsa yang dicintai Alloh (biqawmin yuhibbuhum wa yuhibbunahu), dan lain-lain.
Sifat-sifat yang baik disebutkan, tentu saja agar bangsa-bangsa mengikutinya, dan sifat-sifat yang buruk disebutkan, agar bangsa-bangsa menghindarinya. Inti ajaran agama adalah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Tujuannya adalah agar bangsa-bangsa berhasil dalam misi membangun peradaban manusia di muka bumi. Inilah salah satu cara pembacaan terhadap kitab Alloh sebagai petunjuk bagi orang yang beriman dan bertaqwa.
Menurut Hamid Enayat dengan mengacu pada sejarah pemikiran politik dinyatakan bahwa istilah nasionalisme kadang-kadang merujuk pada suatu gerakan untuk mengawal kemerdekaan dan kebebasan bangsa terhadap agresi luar, dan kadang-kadang merujuk pula pada penegasan intelektual kemandirian dan identitas bangsa. Dalam catatan pakar politik Iran tersebut dengan mengutip pendapat para pemikir muslim pada abad ke-19 memahami istilah nasionalisme terutama dengan pengertian yang pertama, dan mengidentikkannya dengan patriotisme.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam Islam tentang kebangsaan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang juga diajarkan oleh para nabi dan rasul. Karena manusia dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, maka kebangsaan sebenarnya adalah suatu yang alami. Perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk tujuan pertarungan, persaingan tidak sehat dan saling bermusuhan, tetapi untuk mendorong ummat manusia dalam berprestasi, melakukan kebajikan dan usaha mendekatkan diri kepada Alloh (Al-Hujurat : 13).

III. Pendapat Ulama terhadap Nasionalisme di Indonesia
Untuk melihat bagimana pandangan ulama di Indonesia terhadap nasionalisme maka antara lain dapat merujuk pada pendapat H. Agus Salim. Dalam konggres Al-Islam luar biasa pada 24-26 Desember 1924 di Surabaya, H. Agus Salim menguraikan soal khilafah dalam Islam. Diuraikannya bahwa nasionalisme berdasarkan Islam ialah memajukan negeri dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Di samping H. Agus Salim terdapat H.O.S. Cokroaminoto yang juga berpendapat tentang nasionalisme. Bahwa Islam sepertujuh bahagian rambut pun tak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme ‘yang sejati’, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya nasionalisme yang sempit dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam, yakni sosialisme yang menghendaki persatuan manusia dikuasai oleh Alloh, dengan lantaran hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada utusan-Nya Nabi Penutup, Muhammad saw.
Dalam hubungan ini Salim menunjuk pada sikap Nabi Ibrahim yang mencintai tanah airnya dalam rangka pengabdian kepada Alloh, seperti ucapan yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37.
Di samping pandangan-pandangan dari kalangan Syarikat Islam di muka terhadap paham kebangsaan, Persis di Bandung juga mengemukakan pendapatnya melalui dua orang tokohnya yakni A. Hassan dan M. Natsir.
Dalam pandangan A. Hassan bahwa paham kebangsaan itu sama dengan ‘ashobiyah yakni rasa persatuan suku yang sangat mengikat sebelum persatuan Arab di bawah Nabi dan terutama diterapkan pada masa jahiliyah. Ia juga menambahkan bahwa orang Islam di Indonesia, karena mengikuti paham kebangsaan, menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Qur’an semua Muslimin adalah bersaudara. Hassan berpendirian bahwa orang yang mengambil asas dan hukum lain dari Islam itu, dipandang bukan Islam. Dalam penuturannya dia mengatakan begini :
Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam. Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara, dunia dan akhirat.
Islam tidak mengaku umatnya akan seseorang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan, Islam perintah umatnya (bukan umat lain) supaya mengejar kemerdekaan dan mengerjakan apa-apa yang berhubungan dengan itu, semata-mata karena Islam dan atas nama Islam.

Dalam pandangan M. Natsir dengan menelusuri perkembangan nasionalisme itu dari permulaannya dan mengambil kesimpulan tentang nasionalisme tersebut dari pandangan dan pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Katanya, bertahun-tahun sebelum pemakaian kata nasionalisme Indonesia, pada waktu berbagai organisasi, seperti Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond, dan sebagainya, membatasi keanggotaannya pada suku bangsa bersangkutan masing-masing, pergerakan-pergerakan yang berdasar kepada agama Allah semata-mata, sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan Indonesia. Lebih jauh masih menurut M. Natsir :
Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mukla-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-Islaman.

Memproyeksikan perkembangan di masa depan, Natsir bertanya apakah setelah Indonesia merdeka tujuan orang Islam sama dengan tujuan orang nasinalis yang netral agama. Menurutnya :
Tujuan kaum Muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya.
Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap netral kepada agama, yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam.

IV. Beberapa Faktor Penyebab Islam Sebagai Pembangkit Gerakan Nasionalisme
Dalam rentang sejarah Indonesia, Islam telah menyumbang amat banyak, bagi negeri ini. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam. Jasa Islam bagi keberkahan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain :
1. Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh tata negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku tata negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas ketika itu.
2. Solidaritas nasional, terjadi karena proses pengislaman nusantara sehingga menjadikan seluruh Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasonalisme.
3. Syariat Jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihadlah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan pada Komunisme, 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad.
4. Kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu banyak satpam.

Pada masa kerajaan-kerajaan Islam jaya, para ahli sejarah Belanda mencatat kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi di wilayah nusantara, sehingga mereka mampu membangun angkatan perang untuk mengusir penjajah Portugis dan Belanda dari wilayah mereka. Portugis dan Belanda yang terusir dari Sunda Kelapa dan lari ke Malaka, kemudian dengan sembunyi-sembunyi mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, seperti Blambangan di Banyuwangi, Jenggala di Kediri, dan Siliwangi di Jawa Barat.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperialisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri.
Masih menurut Ahmad Mansur Suryanegara dengan mengutip pendapat Donald Eugene Smith dalam Religions, Politics, and Social Change in the Third World, menyatakan bahwa ulama memegang peranan penting dalam memimpin perlawanan terhadap imperialis Barat dengan upayanya untuk pengembangan agama katolik dan Protestannya. Akibat imperialis Barat dengan identitas agama itu maka muncullah Islam di Nusantara Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Dengan demikian terbaca dari pendapat para sejarawan di muka bahwa keberadaan ulama dan santri dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional melawan imperialis Barat dengan menjadikan Islam sebagai simbol perjuangan merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Sehingga dengan ini pula dapat dipahami paling tidak ada tiga faktor mengapa Islam sebagai pembangkit nasionalisme di Indonesia sebagai berikut :
1. Secara internal, memang dalam ajaran Islam terdapat konsep tauhid sebagai inti ajarannya juga adanya konsep dakwah dan jihad yang dijadikan manhaj perjuangan dari kaum pergerakan Islam dalam menegakkan tauhid itu.
2. Disamping hal tersebut adalah terjadinya konsolidasi di kalangan ulama dan santri untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi para penjajah negeri ini.
3. Secara eksternal, umat Islam bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan imperialisme.

Meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia adalah ulama dan santri anehnya yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional adalah tanggal berdirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Padahal, sampai dengan Konggres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan konggres tersebut, Boedi Utomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw. Disinilah bisa dipahami pandangan dari Salimuddin tentang perlunya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sehingga upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional dalam penulisan Sejarah Indonesia dapat dihentikan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian dimuka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Nasionalisme dapat dipahami sebagai paham kebangsaan dan tidak bertentangan dengan Islam asal sesuai dengan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul.
2. Di kalangan ulama Indonesia paham tersebut diadaptasikan dengan ajaran Islam sehingga tidak sekular.
3. Islam dapat menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia disebabkan oleh adanya konsep tauhid sebagai inti ajarannya, dan juga adanya konsep dakwah dan jihad di dalam Islam sebagai manhaj untuk menegakkan tauhid itu, juga adanya konsolidasi oleh ulama dan santri dalam pergerakan Islam untuk melawan musuh-musuh tauhid dengan manhaj dakwah dan jihad, dan secara eksternal karena adanya tantangan dari kaum imperialis kafir.


DAFTAR PUSTAKA
Enayat, Hamid. 1988. Reaksi Politik Sunni dan Syiah : Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20. (Bandung : Pustaka).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta : Khairul Bayan).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam : Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di
Indonesia. (Yogyakarta : Jalasutra).
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta : LP3ES).
Salam, Solichin. 1963. Agus Salim Pahlawan Nasional. (Jakarta : Jayamurni).
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah I. (Bandung : Salamadani).
Majalah Risalah Mujahidin, Edisi 11 Th. 1 Sya’ban 1428 H/Agustus 2007 M.

Tidak ada komentar: