Senin, 15 November 2010

Dakwah Berbasis Perencanaan: Sebuah Pelajaran dari Sirah Nabi SAW

Oleh: Muhamad Sahrul Murajjab

Pendahuluan

Pada tanggal 7 Oktober 2009 lalu, Harian Republika menurunkan sebuah tulisan karya Muhbib Abdul Wahab, seorang dosen Pascasarjana di Universitas Islam Negeri Jakarta, berjudul “Dakwah Berbasis Riset”. Dalam artikelnya tersebut Muhbib menyoroti lemahnya efektifitas dakwah di Indonesia yang menurutnya masih sangat bersifat ‘individual’. Untuk itu ia mengidealkan terwujudnya aktifitas dakwah yang berbasis riset dengan artian bahwa dakwah harus “dilandasi hasil-hasil riset, penelaahan dan pengkajian materi dakwah secara akademik dan komprehensif.[1] Muhbib menambahkan Dakwah Berbasis Riset ini menghendaki adanya standardisasi dan profesionalisasi dengan tidak dikerjakan seadanya saja.

Tulisan Muhbib dimaksud rasanya cukup relevan ditengah ‘hingar-bingar’ dakwah yang semakin ramai terdengar dan menghiasi media massa, baik cetak maupun audio visual terutama televisi. Sayangnya Muhbib dalam tulisan tersebut sama sekali tidak menyinggung tentang konsep perencanaan yang sebenarnya juga sangat penting dalam dakwah. Bahkan, tak satupun kata ‘rencana’ atau perencanaan muncul dalam artikel tersebut. Untuk itu makalah ini akan mencoba membahas mengenai dakwah berbasis perencanaan dengan fokus kajian pada pelajaran-pelajaran dakwah dari sirah Nabi SAW tentang perencanaan tersebut.

Arti Penting Perencanaan dalam Dakwah

Dalam dunia ilmu manajemen modern, istilah perencanaan sudah sangat tidak asing dan dianggap sebagai salah satu pilar penting manajemen yang lima yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), implementasi atau pelaksanaan (actuating), koordinasi (coordinating) dan pengawasan (controlling).

Dalam ilmu manajemen modern, istilah perencanaan (planning) sudah sangat tidak asing dan dianggap sebagai salah satu pilar yang memiliki fungsi vital. Melalui perencanaan sebuah program memiliki landasan yang efektif bagi tercapainya tujuan serta efektivitas pendayagunaan sumber-sumber daya yang ada. Perencanaan juga menjadi garis-garis batas untuk mengontrol terjadinya deviasi atau penyimpangan.

Perencanaan (planning) oleh Mondy dan Premeaux dalam bukunya Management: Concepts, Practices and Skills didefinisikan sebagai “proses menentukan apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan.”[2] Dari definisi ini maka perencanaan dalam dakwah dapat dimaknai dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam menentukan tujuan dan target sebuah aktifitas dakwah melalui pengumpulan data-data dan menganalisisnya untuk kemudian merumuskan metode dan tata cara untuk merealisasikannya dengan seoptimal mungkin. Dalam kaitan ini sebuah perencanaan dakwah hendaknya memenuhi tiga unsur utama sebuah perencanaan yaitu: pengumpulan data, analisis fakta dan penyusunan rencana yang konkrit.[3]

Masalahnya, dalam perkembangan dakwah kekinian perencanaan tampaknya masih belum mendapat perhatian yang cukup dari para aktivis dakwah sehingga menyebabkan tujuan-tujuan dakwah tidak dapat dicapai dengan baik. Akibatnya muncul ‘penyakit-penyakit’ dakwah yang tidak diharapkan seperti aktivitas dakwah yang asal-asalan (afwi), spontan (irtijāli), parsial (juz’i), tidak inovatif (taqlidi) dan bersifat tambal sulam (tarqi`i).[4] Untuk itu aktifitas dakwah mesti mendapat perhatian serius dan tidak dikerjakan secara sambil lalu (laiknya ‘pekerjaan sambilan’) salah satunya melalui perencanaan yang baik sebagai bentuk profesionalisme (itqān) sebagaimana dianjurkan oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya:

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai jika seseorang diantara kamu mengerjakan sesuatu dengan penuh profesionalisme”[5]

Sebuah perencanaan yang matang akan menjadi peta jalan (road map) kegiatan dakwah sehingga pelaksanaan agenda dakwah akan lebih fokus dan terkontrol, efektif, efisien dan komprehensif-integratif. Selain itu aktivitas dakwah yang dijalankan melalui perencanaan yang disusun matang (by design) akan dapat memberikan kepercayaan diri pada para aktivis dakwah karena mereka merasa menjalankan sebuah pekerjaan yang telah teruji secara konseptual.[6] Melihat manfaat besar yang dapat dicapai oleh dakwah melalui sebuah perencanaan maka Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni cukup tepat ketika meletakkan perencanaan sebagai salah satu dari instrumen penting non-materil (al-wasā’il al-ma`nawiyah) dalam mencapai tujuan-tujuan dakwah.[7]

Perencanaan Dakwah dalam Sirah Nabi SAW

Sebelum mengulas pelajaran perencanaan dakwah dalam sirah Nabi SAW, tulisan ini akan sekilas melihat bagaimana Al-Quran memberikan konsep tentang perencanaan. Hal ini dirasa penting karena bagi sebagian kalangan perencanaan dianggap ’tidak islami’ karena bertentangan dengan konsep tawakal atau iman kepada takdir. Pandangan ini biasanya datang dari kalangan kaum sufi yang cenderung bersikap pasrah.

Jika dicermati secara seksama ada beberapa ayat Al-Quran yang secara implisit sebenarnya mengandung anjuran bagi umat Islam untuk memperhatikan perencanaan. Dalam QS. Al-Nisā: 71 misalnya Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!”

Ayat ini sejatinya mengandung perintah untuk melihat hukum sebab akibat (causality) yang dalam konteks ini adalah segala aspek yang mendukung pertahanan kaum muslimin dari serangan kaum kafir.[8] Demikian pula dengan ayat QS. Al-Anfāl: 60

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ

Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

Ketika mengomentari ayat ini, Muhamad Rashid Ridlā menyatakan bahwa yang disebut dengan al-i`dād adalah mempersiapkan sesuatu untuk masa yang akan datang (tahyi’ah al-shay’ li al-mustaqbal).[9]

Selain dua contoh ayat di atas dan yang sejenisnya, al-Quran secara eksplisit mencatat contoh pelaksanaan konsep perencanaan yang gemilang dalam kisah Nabi Yusuf AS dan kisah Dzulqarnain. Dalam QS. Yusuf : 47-49, Allah mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf menyampaikan ide perencanaan manajemen pangan jangka panjang atau sekitar 15 tahun dalam mengantisipasi datangnya masa paceklik.

قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ (47ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ (48) ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ (49)

Artinya : Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan (46) Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan (47) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan (48) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur. (49)
Dalam QS. Al-Kahfi: 94-97, Allah juga menceritakan bagaimana Dzulqarnain ketika mengetahui adanya realitas ancaman Ya’jūj dan Ma’jūj terhadap sebuah masyarakat yang dia temui dalam perjalanannya kemudian merencanakan persiapan menghadang mereka dengan membangun sebuah benteng kokoh.

Dari uraian singkat di atas jelas sudah indikasi-indikasi yang diberikan Al-Quran terhadap pentingnya sebuah perencanaan dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Nabi SAW sendiri sebagai penerima wahyu dan pemberi penjelasan terhadap Al-Quran benar-benar memahami hal itu dan mengimplementasikannya dalam perjalanan sejarah dakwah beliau. Dan nyatanya, Nabi SAW meskipun dibimbing oleh wahyu dalam setiap gerak dan langkahnya, namun juga melakukan berbagai perencanaan yang matang demi tercapainya keberhasilan agenda-agenda yang ditargetkan.

Ketika Rasulullah SAW menentukan tempat hijrah pertama untuk para sahabatnya ke Ethiopia (Habashah), tampak sekali bahwa hal itu tidak lahir dari sebuah gagasan yang datang tiba-tiba tanpa perencanaan dan pertimbangan yang matang terhadap situasi dan kondisi geopolitik dan keagamaan di wilayah tersebut.[10] Pemilihan Ethiopia yang secara geografis tidak masuk bagian Jazirah Arab dan cukup jauh dari Mekah bahkan dibatasi oleh laut memungkinkan para sahabat Nabi yang berhijrah tidak terkejar oleh kaum Quraish yang saat itu memiliki pengaruh dan kekuatan cukup besar. Nabi SAW juga tidak meminta para sahabat untuk pergi ke tempat yang lebih jauh lagi sehingga justru mempersulit para muhajirun dan menyebabkan terputusnya kabar dari mereka. Ethiopia saat itu berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin yang dikenal cukup bijak dan adil sehingga menjamin keamanan para muhajirun. Situasi keagamaan di wilayah itu juga cukup kondusif, karena raja dan penduduknya memeluk agama Nasrani yang secara psikologis relatif lebih memiliki kedekatan dibanding dengan kaum pagan.

Demikian pula dengan proses perjalanan hijrah Nabi SAW ke Madinah mengungkapkan ketelitian dan kecermatan perencanaan yang dilakukan oleh Nabi SAW. Dalam proses hijrah Nabi ke Madinah Munir Muhamad Ghadlbān mencatat sejumlah point penting perencanaan Nabi seperti pemilihan waktu keluar Makkah di siang bolong di bawah terik mentari dengan menutup muka di saat kebanyakan orang sedang malas ke luar rumah, pembelian dua binatang kendaraan perjalanan empat bulan sebelumnya, penyiapan bekal Asmā’ binti Abu Bakar, keluar rumah Abu Bakar tidak melalui pintu yang biasanya, menugaskan Abdullah ibn Abu Bakar sebagai pengumpul informasi, menugaskan `Āmir ibn Fuhayrah untuk menghapus jejak pengirim bekal, penunjukan Ibn Urayqiţ yang non-muslim sebagai pemandu terpercaya, menggunakan jalur perjalanan yang tidak biasa dilalui manusia, menjadikan gua Tsūr sebagai tempat transit dan lain-lain.[11]

Pada masa-masa awal dakwah Nabi SAW, tepatnya pada tahun kelima kenabian Rasulullah menjadikan sebuah rumah milik Al-Arqam ibn Al-Arqam al-Makhzumi sebagai tempat pertemuan beliau dengan para sahabatnya yang saat iti merupakan minoritas yang senantiasa dijadikan objek tekanan dan penindasan kaum mushrik Quraish. Jika diamati secara mendalam pilihan Nabi tersebut nyantanya tidak terjadi secara kebetulan melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bervisi kedepan. Menurut analisis Munir Ghadlbān setidaknya ada tiga alasan penting pemilihan rumah Al-Arqam.[12] Pertama, Al-Arqam bernaung di bawah klan Bani Makhzum yang merupakan musuh tradisional Bani Hashim. Dengan alasan ini, akan sangat sulit bagi kaum mushrik membayangkan bahwa Nabi SAW yang datang dari klan Bani Hashim justru menggunakan rumah anggota klan Bani Makhzum.

Kedua, saat itu usia Al-Arqam ibn Al-Arqam masih sangat belia, yakni baru berusia 16 tahun, sehingga anggapan kaum mushrik akan sulit mengerti bagaimana sebuah rumah milik seorang anak muda belia akan dijadikan pusat dakwah oleh Nabi SAW. Alasan ketiga, bahwa keislaman Al-Arqam masih belum diketahui siapapun kecuali oleh kalangan umat Islam saat itu saja.

Dari beberapa contoh fragmen sirah di atas menunjukkan betapa Rasulullah SAW sangat memperhatikan perencanaan dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Menarik sekali bahwa perencanaan belaiu sangat memenuhi unsur-unsur perencanaan ilmu managemen modern, yakni ketersediaan data yang lengkap dan pengenalan yang akurat terhadap data maupun kondisi riil medan yang dihadapi, kemampuan melakukan analisis secara tepat dan dapat menyusun aksi-aksi brilian dan membawa hasil.

Penutup

Dari paparan di atas dapat diambil beberapa simpulan:

1. Perencanaan adalah faktor sangat penting dalam keberhasilan sebuah agenda dakwah.
2. Al-Quran sangat menganjurkan umat Islam untuk mempersiapkan sebuah perencanaan dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih di bidang dakwah.
3. Sirah Nabi SAW sangat padat dengan berbagai teladan ketajaman visi Nabi dan ketepatan perencanaan belaiu dalam menjalankan agenda dakwah yang diembannya. Selayaknya, hal tersebut dapat diteladani secara baik oleh umat Islam saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

ü Al-Quran al-Karim dan Terjemahnya

ü Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, Beirut: Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H,

ü `Abdul Mawlā al-Ţāhir al-Makki, Al-Takhţīţ li al-Da`wah al-Islāmiyah Dirāsah Ta’şīliyyah, tesis magister di Fakultas Dakwah dan Informasi, Universitas Islam Imam Muhamad Ibn Sa`ūd, Riyadh, 1995

ü Irwan Prayitno, Kepribadian Da’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2005

ü Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni, Al-Madkhal ila `Ilm al-Da`wah, Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 3, 1995

ü Muhamad Nashirudin Al-Albani, Şahih wa Dla`if Al-Jāmi` al-Şaghīr dan Al-Silsilah al-Şahīhah (dalam Maktabah Shamela 3.28).

ü Muhamad Rashid Ridlā, Tafsir al-Manār, Kairo: Al-Hay’ah al-Mişriyah al-`Āmmah li al-Kitāb, 1990

ü Munir Muhamad Ghadlbān, Al-Manhaj al-Haraki li al-Sīrah al-Nabawiyah, Jordania: Maktabah al-Manar, Cet. 5, 1989

ü Munir Muhamad Ghadlbān, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, Makah: Umm al-Qura University, 1419 H

ü Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005

ü Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th

ü Harian Umum Republika
[1] Muhbib Abdul Wahab,“Dakwah Berbasis Riset“, dalam Harian Republika, 7 Oktober 2009.

[2] Mondy, R.W & Premeaux, S.H, Management: Concepts, Practices and Skills, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1995, hal. 138, sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005, hal. 61

[3] Tentang tiga unsur perencanaan ini lihat: Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 62

[4] Istilah-istilah penyakit dakwah ini penulis terilhami oleh salah satu bahan ajar mentoring (liqā) sebuah kelompok dakwah di Indonesia. Lihat misalnya: Irwan Prayitno, Kepribadian Da’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2005,hal. 161-164

[5] HR. Al-Bayhaqi dan Abu Ya’la, disebutkan juga oleh Al-Suyuti dalam Al-Jāmi` al-Şaghīr. Hadits ini diperselihkan kesahihannya oleh para ulama hadits. Al-Albani menggolongkannya sebagai hadits sahih atau hasan dalam kitabnya Şahih wa Dla`if Al-Jāmi` al-Şaghīr dan Al-Silsilah al-Şahīhah (dalam Maktabah Shamela 3.28).

[6] Baca: `Abdul Mawlā al-Ţāhir al-Makki, Al-Takhţīţ li al-Da`wah al-Islāmiyah Dirāsah Ta’şīliyyah, tesis magister di Fakultas Dakwah dan Informasi, Universitas Islam Imam Muhamad Ibn Sa`ūd, Riyadh, 1995, hal. 22-23

[7] Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni, Al-Madkhal ila `Ilm al-Da`wah, Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 3, 1995, hal. 301 & 306

[8] Lihat misalnya: Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, Beirut: Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H, hal. 186

[9] Muhamad Rashid Ridlā, Tafsir al-Manār, Kairo: Al-Hay’ah al-Mişriyah al-`Āmmah li al-Kitāb, 1990, vol. X, hal.53

[10] Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th, hal. 45-46

[11] Untuk lebih lanjut baca: Munir Muhamad Ghadlbān, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, Makah: Umm al-Qura University, 1419 H, hal. 324-341

[12] Munir Muhamad Ghadlbān, Al-Manhaj al-Haraki li al-Sīrah al-Nabawiyah, Jordania: Maktabah al-Manar, Cet. 5, 1989, vol.I, hal. 47-48

Tidak ada komentar: