Ketika
 anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak 
remaja kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala
 kasus perkosaan biasa menimpa remaja wanita bahkan anak-anak dibawah 
umur, orang lalu bertanya salah siapa?
Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Kini solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter (character education)
 yang dibebankan ke pundak sekolah. Di Amerika pendidikan ini sebenarnya
 bukan hal baru. Sebelum terjadi hura hara kekerasan di sekolah-sekolah 
Amerika, Horce Mann, tokoh pendidikan Amerika, sudah mendukung dan 
mengarahkan adanya program pendidikan karakter di sekolah. Tapi ia 
bersama tokoh pendidikan abad 20 ragu pendidikan karakter ini akan 
mengarah pendidikan moral. Sebab moral biasanya dikaitkan dengan 
keluarga dan gereja.
Meski
 dikhawatirkan menjadi pendidikan moral atau agama, tapi pada tahun 1980
 dan 1990an pendidikan karakter di Amerika memperoleh perhatian kembali.
 Menurut Vessels, G. G  ini untuk pencegahan dekadensi moral (Character and community development: A school lanning and teacher training handbook, 1998,  hal.5).
 Tapi menurut Beach, W dan Lickona, T., ini bukan hanya mencegah tapi 
sudah harus memperbaiki moral yang sudah merosot. (Lihat Beach, W. Ethical education in American public schools. Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility). 
Tapi
 karena inisiatif solusi ini tidak datang dari pendidik, penekanannya 
hanya pada perilaku standar dan kebiasaan yang positif. Perhatian 
kembali ini didukung oleh para politisi dan pemimpin Negara. Clinton, 
misalnya mengadakan lima konferensi tentang pendidikan karakter. 
Dilanjutkan oleh George W Bush yang menjadikan pendidikan karakter 
sebagai fokus utama dalam agenda reformasi pendidikan. 
Tapi
 apa itu pendidikan karakter itu? Lockwood, A. T mengartikan pendidikan 
karakter sebagai program sekolah, untuk membentuk anak-anak muda secara 
sistematis dengan nilai-nilai yang diyakini dapat mengubah perilaku 
mereka.  (Lockwood, A. T. Character education: Controversy and consensus 1997, hal. 5-6).  Namun
 secara luas diartikan pula sebagai penanaman sifat sopan, sehat, 
kritis, dan sikap-sikap sosial seperti kewarganegaraan yang dapat 
diterima masyarakat. 
Kekhawatiran
 Horace Mann terbukti. Pendidikan karakter dianggap sama dengan 
pendidikan moral atau sekurangnya mirip. Maka para penganut Protestan di
 Amerika segera mencium bau pendidikan moral dalam pendidikan karakter 
ini. Mereka pun protes. Ini mereka anggap sebagai penjelmaan dari 
program pendidikan agama dan nilai yang dianggap telah gagal di masa 
lalu. 
Untuk
 itu arti pendidikan moral mulai dikaburkan dari nilai-nilai agama dan 
diartikan sebagai upaya sadar untuk membantu orang lain mencari 
pengetahuan, skill, tingkah laku, dan nilai untuk kepentingan pribadi 
dan sosial  (Kirschenbaum, 100 ways to enhance values and morality in school and youth settings). 
Tapi
 istilah dan konsep pendidikan karakter pun bukan tanpa masalah. Apa 
yang disebut baik dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik 
buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan 
bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai 
dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal.  Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri. 
Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya.  Maka
 arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya 
manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar 
sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi 
herannya mengapa di Indonesia yang problemnya berbeda mesti harus 
menanamkan nilai-nilai dari negara asing? 
Berhasilkah
 pendidikan karakter ini menyelesaikan masalah bangsa Amerika? Ternyata 
tidak. Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan Amerika Serikat melaporkan
 bahwa mayoritas pendidikan karakter telah gagal meningkatkan 
efektifitasnya.  Bulan oktober 2010 sebuah penelitian 
menemukan bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak 
dapat memperbaiki perilaku pelajar atau meningkatkan prestasi akademik. 
Ternyata dibalik itu terdapat beberapa masalah. Pertama
 tidak ada kesepakatan dari konseptor dan programmer pendidikan karakter
 tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama. Karakter 
kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, 
persamaan, sikap hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima 
bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail akan berbeda-berbeda 
dari satu bangsa dengan bangsa lain. 
Masalah kedua, ketika
 harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan
 antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi. Ketiga, konsep karakter masih ambigu karena - merujuk pada wacana para psikolog - masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour). 
Persoalan keempat dan terakhir arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq berkaitan dengan iman, ilmu dan amal. 
Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifz al-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya. Wallahu a’lam.*
Sumber  : http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=520:pendidikan-karakter&catid=23:pendidikan-islam&Itemid=23

Tidak ada komentar:
Posting Komentar