Senin, 21 Maret 2011

BEBERAPA PAHAM SEBAGAI TANTANGAN DAKWAH DI INDONESIA

Disusun oleh :
BAMBANG PURWANTO KETUA BIDANG DAKWAH LSU BINA INSANI

I.Pengantar
Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam adalah kewajiban atas seluruh umat Islam. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin agar mendakwahkan Dinul Islam dan selanjutnya menegakkannya melalui dakwah dan jihad. Dakwah adalah kegiatan yang dilaksanakan jama’ah Muslim (lembaga-lembaga dakwah) untuk mengajak umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan sehingga Islam terwujud dalam kehidupan fardiyah, usrah, jama’ah dan ummah sampai terwujudnya tatanan khaira ummah. Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.
Al-Qur’an adalah kitab dakwah ini. Agar kita dapat memperoleh energi Al-Qur’an, mengetahui hakikat gelora yang tersembunyi di dalamnya, dan mendapatkan nasihat yang tersimpan untuk umat Islam di setiap generasi, sepatutnya kita menghadirkan di dalam visi kita tentang eksistensi generasi Islam pertama yang menjadi obyek sasaran Al-Qur’an untuk pertama kali. Generasi awal Islam tersebut dengan karunia Alloh telah berhasil mendirikan sebuah negara di Yatsrib yang kemudiaan dikenal sebagai negara Madinah dengan konstitusi Madinahnya.
Jika dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu. Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya. Rupa-rupanya antara dakwah dan tantangannya sudah senyawa.
Sejak masuknya Islam ke negeri ini pada akhir abad pertama Hijrah atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai sistem hukum yang menghendaki kekuasaan negara kemudian dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di berbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “Adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Demikianlah maka umat Islam Indonesia sejak abad 1 H atau 7 M telah berusaha meletakkan dasar identitas bangsa Indonesia, sebagai bangsa relijius. Bangsa yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar pemikiran dan cara hidupnya. Tentu dalam proses tersebut terdapat berbagai tantangan dakwah yang muncul. Tulisan ini akan mencermati tantangan dakwah di Indonesia yang berupa ; 1).Sekularisme, 2). Liberalisme, 3). Pluralisme Agama, 4). Nativisme.
II. Sekularisme
Sekularisme adalah suatu paham atau aliran dalam kehidupan yang memisahkan agama/wahyu dari kehidupan duniawi. Jelasnya nilai-nilai agama/wahyu tidak boleh dibawa-bawa untuk diperankan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan masyarakat dan negara. Karena menurut pikiran orang-orang sekular, agama hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedang persoalan bermasyarakat dan bernegara urusan bersama dari seluruh anggota masyarakat dan warga negara. Selanjutnya, sekularisme menurut M. Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: kotak dunia dan kotak spiritual, dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual.
Serbuan kolonialisme, baik di seluruh dunia Islam maupun secara khusus di kepulauan Nusantara, dengan kepentingannya untuk melucuti peran sosial-politik Islam, membawa gangguan pada sistem religio-politik tradisional. Upaya untuk menghalau Islam dari ruang publik berarti penolakan terhadap premis-premis orisinal dari sistem politik yang berbasis keagamaan. Gangguan dan keterputusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari sekularisasi politik.
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus dilanjutkan oleh rezim-rezim pemerintahan pascakolonial. Hal ini utamanya disebabkan oleh watak elit politik negeri ini, yang hingga belum lama berselang tidak pernah menunjukkan komitmen yang terbuka terhadap Islam. Sebagian besar dari generasi pertama elit politik berpendidikan tinggi dan perwira militer berasal dari lingkungan priyayi yang ter-Barat-kan atau dari latar Protestan, Katolik, dan sinkretik (abangan) dalam orientasi keagamaannya. Minoritas elit terhormat ini, karena eksposnya yang tinggi terhadap ide-ide Barat dan permusuhannya yang panjang terhadap elit-elit berorientasi Islam, cenderung mempertahankan afiliasinya dengan politik yang berorientasi sekular dalam oposisinya terhadap ide negara Islam.
Menurut catatan Dr. Fuad Amsyari bahwa setelah masa kemerdekaan terselesaikan lalu terjadi kemelut khususnya menyangkut ideologi mana yang dijadikan acuan untuk mengisi kemerdekaan itu. Karena mayoritas bangsa pada saat kemerdekaan diperkirakan masih 95% lebih adalah muslim maka kemelut itupun banyak berasal dari kalangan muslim sendiri, khususnya pertentangan antara golongan umat yang berbeda pemahaman Islamnya oleh pengaruh non-Islam ke dunia pemikiran Islam. Proses ini nampaknya terus berjalan hingga sekarang.
Salah satu potret menarik untuk dicermati tentang usaha sekularisasi oleh sebuah rezim di Indonesia dengan menciptakan ruang hampa dalam ranah sosial-politik dari pengaruh Islam ialah saat ORBA memaksa agar Pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi organisasi sosial-politik. Bersamaan dengan situasi ini muncul gerakan pembaharuan Islam pada tahun1970-an secara tidak langsung memperkuat proses sekularisasi dengan mendukung keharusan Islam untuk melucuti klaim-klaim politiknya agar bisa memusatkan dirinya pada imperatif-imperatif etik dan spiritual. Diktum Nurkholis Majid yang amat terkenal “Islam, Yes; Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa “Islam bukanlah ideologi politik”. Dapat dikatakan bahwa jika sebelum dekade 1970-an proses sekularisasi ini diarahkan oleh negara, setelah dekade tersebut proses itu telah menemukan resonansinya pada hati sanubari angkatan baru cendekiawan Muslim.
Masih menurut Dr. Yudi Latif bahwa proses pemisahan agama dan politik di Indonesia, tidaklah persis seperti apa yang terjadi di banyak negara-negara Barat. Sekularisme dalam konteks Indonesia tidaklah berarti inkonsistensi dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan boleh jadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional. Rezim-rezim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintahan telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyifati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.
Untuk menghadapi penyebaran paham sekularisme yang menggunakan jalur publikasi dan media massa ajakan Alloh yarham Dr. M. Natsir patut dicamkan. Berkaitan dengan hal ini, beliau mengajak para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan cara menghadapi sekularisme, yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja. Ia amat gembira karena sudah ada beberapa intelektual muslim yang telah menulis buku mengenai hal yang dimaksudkannya itu.
III. Liberalisme
Liberalisme seperti yang dikatakan oleh Dr. Syamsuddin Arif adalah sebuah paham yang mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas atau free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran atau sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion).
Di kalangan orang Barat berangkat dari kebebasan inilah mereka lepaskan kontak dengan Allah dalam mengumbar nafsu. Makan minum barang haram bebas. Pergaulan laki-laki dan perempuan bebas. Homosex dan lesbian bebas. Perjudian dan barang riba bebas. Jadi berbagai ketentuan wahyu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dibuat menjadi bebas.Mereka sudah tidak berpikir lagi tentang kelanjutan hidup di alam akhirat. Begitulah konsep kebebasan yang dijadikan dasar kehidupan dalam budaya Barat.
Pada zaman modern ini, banyak kaum terpelajar kita yang terkagum-kagum dengan pemikiran yang datang dari Barat untuk menggantikan Islam. Jika ditelusuri, diketahui bahwa hal itu berawal sejak masuknya penjajah Barat ke negara-negara Muslim. Imperialis Barat tidak hanya merampas kekayaan alam negara-negara Muslim, tetapi juga merampas akidah, mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh dibilang berhasil. Pasalnya, mereka betul-betul membeo dan mengekor ke Barat, tidak hanya dalam hal teknologi yang masih bisa ditolerir, tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, berupa cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya.
Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan paham-paham Barat melalui buku, tulisan di media massa, serta diskusi dan ceramah di kampus. Bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang memukau dan menjanjikan sesuatu yang baru nan indah. Target mereka adalah umat Islam keluar dari keislamannya sebagaimana Barat meninggalkan agamanya. Mereka sering merelatifkan pendapat ulama (ijtihad). Apa saja pendapat ulama yang tidak sesuai dengan selera mereka atau selera masa kini, langsung mereka vonis bahwa itu hanya sekadar pendapat ulama terdahulu yang belum tentu relevan untuk diterapkan pada masa kini. Padahal mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur’an, tidak mengerti hadits, serta tidak memahami kitab-kitab turats (klasik), tetapi mau mengarungi samudera luas. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan.
Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Adian Husaini bahwa hegemoni orientalis Barat dalam studi Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Berbagai keanehan dan kemungkaran dalam dunia ilmu keislaman telah bermunculan dari tubuh berbagai perguruan tinggi Islam. Tidak sedikit orang-orang yang belajar ilmu-ilmu Islam kemudian justru menjadi penentang Islam yang tangguh dan aktif melakukan dekonstruksi (penghancuran) konsep-konsep dasar Islam. Kemungkaran ilmu bukanlah kemungkaran yang ringan, karena berdampak sangat serius dalam amal perbuatan.
Menurut Dr. Fuad Amsyari untuk menyelamatkan umat Islam dan bangsa ini dari arus pembaharuan Islam yang destruktif perlu strategi sebagai berikut :
a. Mengusahakan agar para kyai dan ulama serta sistem pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan IAIN tidak terjerumus pada pengajaran ritual, filsafat, dan kegahiban belaka, apalagi jika sampai berlebihan melewati batas ajaran Alloh sehingga menjadi bid’ah dan syirik. Mereka seharusnya lebih mendalami dan mengajarkan prinsip sosial Islam melalui kajian al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Ulama Salaf yang sarat akan prinsip-prinsip sosial itu dan segera bersikap korektif terhadap gejala sosial salah yang tampak di sekitarnya.
b. Mengajak sungguh-sungguh para intelektual dan penguasa/pejabat muslim agar tidak lupa daratan, merasa lebih pandai dan lebih kuasa dari Alloh hanya karena belajar sedikit ilmu pengetahuan dan mendapat sedikit kekuasaan yang dipegangnya lalu berani memakzulkan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial. Islam harus kembali dianggap sebagai teknologi membangun manusia, masyarakat, bangsa, dan negar, bukan hanya sekedar ajaran akhlak atau ritual belaka.
c. Seluruh aktivis Islam harus berusaha keras merubah sistem sosial mereka menjadi sistem sosial yang Islami sesuai dengan tuntunan Alloh. Jangan hendaknya aktifitas Islamnya hanya sebatas ingin merubah orang per orang. Teknologi merubah masyarakat atau sistem sosial harus secepatnya dikuasai dan ditrampilkan, khususnya dalam tiga hal yang penting, yakni: 1). Ketrampilan untuk mengganti pimpinan suatu kelompok sosial dari pimpinan yang tidak berorientasi pada Islam menjadi pimpinan yang memahami dan berhak pada tuntunan Islam, 2). Kemampuan dan ketrampilan aktivis Islam merubah kebijakan sosial dan perundang-undangan yang menyalahi prinsip Islam menjadi kebijakan dan perundang-undangan yang selaras dengan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial; dan 3). Kemampuan dan ketrampilan untuk merubah budaya yang melanda masyarakat dari budaya syetan menjadi budaya yang sesuai dengan tuntunan Alloh.
d. Menyadarkan para ‘pembaharu’ yang membawa pada pengaburan makna Islam dan merelatifkan isi ajaran Islam itu untuk kembali pada ajaran Islam yang baku sesuai dengan pemahaman jumhur ulama. Hendaknya mereka tidak mudah putus asa oleh sedikit tekanan pihak yang tidak mengerti Islam atau memusuhi Islam dengan cepat-cepat memberi makna lain tentang Islam. Bila mereka tetap teguh dengan ajaran Islam yang benar dan mau bersatu bersama teman-teman seperjuangannya yang lain insya Alloh mereka akan berhasil menjadi pemimpin Islam yang dihormati dihargai umat dan sekaligus akan menjadi pemimpin bangsanya pada masa pasca modern.
Peningkatan jumlah kasus aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa yang mengemuka, maraknya hamil di luar nikah, dan kumpul kebo adalah bukti-bukti dari maraknya kehidupan yang permisif. Memang ada kecenderungan di kalangan masyarakat negeri ini bahwa praktik perzinahan merupakan hal yang dianggap biasa. Di tambah secara juridis, seperti pendapat Dr. Adian Husaini bahwa bangsa ini masih lebih senang menjadi antek kolonial Belanda, yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang terikat dengan perkawinan yang bisa disebut sebagai pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/istri (pasal 284 KUHP).

IV. Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “ religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama’” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian gereja: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Sementara itu, definisi agama dalam wacana pemikiran Barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudaha, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun di bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil, untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau disepakati semua kalangan.
Untuk mendefinisikan agama setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis, misalnya secara alami sangat mudah membedakan antara agama Budha dan agama Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya.
Sementara para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya. Pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N. Bellah, Thomas Luckmann dan Clifford Geertz. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi yaitu sesuatu yang sakral. Pendapat ini adalah yang diyakini oleh Rudolf Otto dan Micrea Eliade.
Dari uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme,sekularisme, nasionalisme dan lainnya. Dan jika pluralisme dirangkai dengan agama sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif bahwa pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang final.
Dalam catatan Dr. Adian Husaini bahwa para penganut paham pluralisme di Indonesia, kemudian mengembangkannya dalam bahasa-bahasa yang lebih sederhana, menarik, dan provokatif. Seolah-olah, pluralisme agama adalah keharusan, yang wajib dipeluk oleh setiap pemeluk agama, menggantikan paham lama (eksklusivisme). Siapa yang tidak menganut paham ini bisa dicap sebagai anti-pluralitas dan antitoleransi. Lebih jauh, dipropagandakan bahwa semua agama adalah jalan menuju keselamatan. Tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan.
Lebih jauh Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa penyebaran paham pluralisme agama ditengah masyarakat muslim dapat dilihat sebagai bagian dari upaya Barat mengglobalkan nilai-nilainya, dan meneguhkan hegemoninya, atau upaya kalangan misionaris Kristen untuk melemahkan keyakinan kaum Muslim. Dalam soal penyebaran pluralisme, Barat dan misionaris Kristen-Yahudi dapat memiliki titik temu misi untuk mencegah ‘fanatisme’ kaum muslim dalam memegang keyakinan agamanya.
Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan memaksakan paham ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang ada, dapatlah dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang ‘anti-agama’. Tetapi sungguh sulit dipahami dengan akal sehat, jika banyak cendekiawan dari kalangan Muslim yang latah dan ikut-ikutan perilaku Barat dalam ‘membunuh agama’ mereka sendiri. Karena paham pluralisme agama –yang mengakui kebenaran semua agama—adalah paham yang jelas-jelas membunuh konsep teologi Islam. Islam datang untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut agama sebelumnya dan agama lain.
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwa tahun 2005, paham Pluralisme Agama masih terus disebarluaskan oleh pemeluknya. Selain karena ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar umat beragama, paham ini memang laku dijual. Sebab, paham ini sangat laku ditawarkan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat (NGO) Barat. Karena itulah, bisa dipahami jika paham ini termasuk isu favorit di kalangan kaum liberal. Salah satu program utama liberlisasi Islam di Indonesia, menurut Greg Barton, adalah penyebaran paham Pluralisme Agama.
Penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia memang melibatkan pendanaan yang sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional Barat seperti The Asia Foundation, dan dari pemerintah AS sendiri. Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta (http//www.usembassyjakarta.org/bhs/laporan/indonesia laporan deplu-AS, html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul “Dukungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004-2005.”
Dalam disertasi Dr. Anis Malik Toha dinyatakan bahwa ada kaitan erat antara teori-teori pluralisme agama dengan ideologi sekularisasi dan globalisasi.Menurutnya teori-teori pluralisme agama tersebut sejatinya adalah bagian dari proses sekularisasi dan globalisasi itu, atau merupakan salah satu mekanismenya. Solusi yang diberikan Islam terhadap problem pluralitas agama bertumpu pada penegasan jatidiri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang serba meliputi kehidupan manusia. Sementara solusi-solusi non-Islami adalah kebalikannya sama sekali. Di samping kepalsuan dan kelicikannya, solusi-solusi ini menuntut biaya yang teramat mahal, yakni lunturnya identitas keagamaan yang otentik, penelikungan dan peminggiran agama-agama, bahkan menuju ke penguburan agama-agama yang ada untuk selamanya.

V. Nativisme
Persoalan pokok di bidang sosial-budaya yang dihadapi oleh umat Islam adalah dampak dari masyarakat industrial. Salah satunya ialah dengan munculnya nativisme. Nativisme adalah kepercayaan dan anutan-anutan yang dianggap berasal dari nenek moyang yang dilestarikan secara turun temurun. Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan yang dikenal sebagai “warisan nenek moyang” dan kesederhanaan berfikir, dan bukan dari sifat-sifat tercela yang membuat penganutnya jauh dari cahaya ilahi. Tidak semua warisan nenek moyang itu perlu ditinggalkan, selama tidak bertentangan dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang seperti itu dapat saja dilestarikan. Bahkan dapat dikembangkan secara baik-baik dengan jiwa baru, yakni jiwa Islam.
Terdapat hubungan kepentingan yang erat antara sekularisme dan nativisme. Hal ini terjadi karena gerakan nativisme menawarkan suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama dari cita-cita sekular. Spriritualisme-nativisme sampai batas tertentu mempunyai raison d’etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi psikologis terhadap perasaan tidak aman warga masyarakat industrial.
Terhadap nativisme, Islam mempunyai kepustakaan yang panjang yang mengungkap ketinggian spiritualitas Islam, sehingga secara teoritik sebenarnya ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasi persoalan spirituaisme itu. Demikian pula secara empirik, sifat-sifat paguyuban dari nativisme yang rindu pada masyarakat kecil, dan hubungan dekat, misalnya, akan dapat dipenuhi. Justru persoalan yang tersulit dalam mnghadapi nativisme adalah masalah kelembagaan. Tetapi karena sudah tersedia sumber daya kelembagaan dan manusia, persoalannya tinggal bagaimana mendekatkan para penganut nativisme pada lembaga-lembaga itu. Perlu diusahakan semacam sarasehan atau pertemuan tatap muka antara mereka dengan penganut tarekat dan ahli-ahli tasawuf. Meskipun pertemuan personal akan lebih penting bagi para penganut nativisme, sebab kebanyakan mereka hidup dalam lingkungan tertutup dan jauh dari sumber bacaan. Jadi mereka lebih percaya pada hubungan personal daripada hubungan impersonal melalui bacaan.
Nativisme kebanyakan didukung oleh keturunan priyayi (aristokrat) yang kemudian menjadi birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya Islam. Karena jarak sosial antara priyayi dan santri semakin dekat, maka dapat diharapkan bahwa perkemb-angan sejarah sendiri akan cenderung untuk menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. Proses yang natural ini akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif . Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju kearah ini patut dikembangkan, sekalipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan dakwah.
VI. Kesimpulan
Dari uraian dimuka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejak abad ke-1 H atau ke-7 M bangsa Indonesia telah berusaha meletakkan identitasnya sebagai sebuah bangsa yang religius. Dibuktikan oleh adanya proses dakwah Islam di kepulauan Nusantara.
2. Tentu dalam usaha dakwah Islam tersebut mengalami banyak tantangan antara lain dengan munculnya berbagai paham baik yang berasal dari Barat maupun paham yang terdapat secara lokal. Yaitu : Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme Agama, dan Nativisme.
3. Dalam menghadapi tantangan dakwah yang berupa paham-paham tersebut maka dakwah Islam harus terus dilanjutkan dengan peningkatan secara kuantitas maupun kualitas. Hendaknya dakwah Islam dilakukan baik dengan pendekatan struktural maupun kultural. Tentu harus didukung oleh para pegiat dakwah yang memiliki kompetensi keilmuan, dedikasi, dan integritas moral yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Awwas, Irfan Suryahardi. 2002. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. (Yogyakarta: Wihdah Press).
Al-Ghadban, Munir. 1992. Manhaj Haraki. (Jakarta: Robbani Press).
Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press).
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 2007. Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
Husnan, Ahmad.tt. Tantangan Penerapan Syariah Islam. (Surakarta: Isy Karima).
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2001. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
____________. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Khairul Bayan).
Luth, Thohir. 2005. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. (Jakarta: Gema Insani Press).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. (Yogyakarta: Jalasutra).
Qutb, Sayyid. 2008. Fiqh Pergerakan. (Yogyakarta: Uswah).
Rasyid, Daud. 2006. Reformasi Republik Sakit. (Bandung: Syamil).
___________. 2006. Pembaharuan Dan Orientalisme Dalam Sorotan. (Bandung:Syamil).
Suneth, A. Wahab dan Syafruddin Djosan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Gema Insani Press).

Tidak ada komentar: