Selasa, 10 Juli 2012

IBN TAIMIYAH: PEMIKIRAN DAN PERJUANGANNYA

Oleh : BAMBANG PURWANT0
Sejarah Islam telah melahirkan banyak tokoh dalam usaha membangun kembali kejayaan Islam. Atau yang biasa disebut dengan istilah tajdid. Seperti yang dikatakan oleh Maududi bahwa hakikat tajdid adalah mencuci bersih wajah Islam dari segala unsur anti-Tuhan, mengangkatnya ke permukaan dan memelihara pertumbuhannya agar  sesuai dengan bentuk asalnya yang hakiki. Sehingga seorang mujadid adalah seorang muslim yang memiliki beberapa kriteria seperti berpikiran kritis, berpandangan jauh kemuka, adil, berkemampuan khusus untuk melihat jalan lurus yang nyata bagi semua golongan ekstrem serta memelihara keseimbangannya, mampu berpikir bebas dari segala prasangka sosial, berani  menentang kedhaliman pada masanya, berbakat sebagai pemimpin dan pembimbing, dan berkemampuan untuk melakukan ijtihad serta menghasilkan karya-karya rekonstruksi. Dengan demikian bisa dipahami bahwa  tajdid  adalah usaha yang dilakukan umat Islam yang dimotori oleh para tokohnya  dengan memadukan antara ijtihad dan jihad. Salah satu nama yang menghiasi deretan mujadid  itu adalah Ibn Taimiyah.
Sebelum sampai pada pemikiran dan perjuangan Ibn Taimiyah akan disampaikan  secara sepintas sejarah hidupnya. Nama lengkap Ibn  Taimiyah adalah Taqi al-Din Abu-l-Abbas  Ibn Abdulhalim Ibn Abdul-Salam Ibn Taimiyah. Ia Iahir pada 22 Januari 1262 M di Harran, dekat Damaskus dari keluarga ulama Syria yang amat terikat dengan mazhab Hambali. Sang kakek, Abdul Salam, adalah seorang ulama terkenal di Baghdad, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah dan kediaman yang disinggahinya pada tahun-tahun akhir kehidupannya. Tradisi serupa diteruskan oleh puteranya, Abdul Halim (ayah Ibn Taimiyah) yang menjadi kepala sekolah hadits terkemuka di Damaskus, perbatasan dengan Harran yang menjadi basis perpindahan keluarganya, setelah bangsa Mongol menjara negeri itu.
Ketika pindah ke Damaskus, Ibn Taimiyah baru berusia 6 tahun. Setelah ayahnya wafat pada tahun 1284, Ibn Taimiyah yang baru berusia 21 tahun, mengggantikan kedudukan bapaknya sebagai guru dan khatib pada masjid-masjid sekaligus mengawali kariernya yang controversial dalam kehidupan masyarakat sebagai teolog yang aktif. Ibn Taimiyah dikenal sebagai orang yang kuat ingatannya, dalam pemikirannya, tajam intuisinya, berpikir dan bersikap merdeka, setia kepada kebenaran, cakap berpidato, berani dan tekun, ia memiliki semua persyaratan yang mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa. Berbagai keistimewaan itu masih didukung dengan pengetahuan yang luas sehingga wajar saja jika disebut pemilik pribadi yang terkemuka. Ditambah dengan berbagai jabatan penting yang disandangnya. Ia tidak hanya sebagai guru dan hakim sebagaimana layaknya tradisi kakek dan bapaknya, namun perkembangan politik memaksanya untuk memimpin perlawanan militer terhadap bangsa Mongol demi membela tanah air Syria. Dalam berbagai kesempatan, ia juga sering melontarkan ide dan gagasan yang sering bertentangan dengan pendapat para penguasa ataupun sebagian besar rakyat. Meskipun dengan sikap itu membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah dari pendiriannya semula.
Ibn Taimiyah pertama kali bentrok dengan penguasa Mameluk pada tahun 1294, tatkala berusia 32 tahun dan memimpin protes di Damaskus menentang Katib Kristen yang dituduh menghina Nabi Muhammad. Sekaligus katib itu ditahan dan dihukum. Ibn Taimiyah tak urung juga ikut tertawan dianggap menghasut rakyat.
Kerenggangan hubungannya dengan negara bermula dari berbagai pendapatnya dalam masalah-masalah teologis tertentu. Pada tahun 1298 ia mengemukakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang dianggap bertentangan dengan keyakinan “ulama” pemerintah di Damaskus dan Kairo. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil-wakil rakyat di dua kota itu dengan dipimpin ‘ulama’ dan utusan-utusan pemerintah mameluk yang terpandang untuk membahas pendapat Ibn Taimiyah yang kontroversial itu. Tahun 1305 M, ia dibawa ke Kairo untuk dipenjarakan, sementara penguasa setempat menyebarkan pengumuman yang berisi ancaman hukuman mati bagi siapa pun yang membela pendapat ibn Taimiyah. Ia lewati kehidupan penjara itu selama satu setengah tahun sebelum dibebaskan kembali karena intervensi salah seorang pejabat tinggi Syria. Akan tetapi, kemerdekaannya kembali putus setahun kemudian ketika tokoh-tokoh sufi Kairo menggugat kutukan Ibn Taimiyah teradap Ittihadiyah para sufi. Peristiwa ini membawanya  kembali dalam kehidupan penjara untuk yang ketiga kali. Ia ditahan di sebuah istana di Akexandria selama dua tahun sampai dibebaskan oleh sultan al-Malik al-Nashir. Usai tiga tahun mengenyam kebebasan di Kairo, yang dijalaninya dengan kegiatan mengajar dan menulis.
Ibn Taimiyah kembali ke Syria pada tahun 1312 M. Di negeri itu, ia memimpin masyarakat untuk tidak mengecam pemerintah sampai tahun 1318, ketika al-Malik al-Nashir mengeluarkan larangan baginya untuk menyampaikan fatwa tentang masalah perceraian. Para anggota dewan dikumpulkan dan meumutuskan menjebloskan kembali ibn Taimiyah ke dalam penjara karena tidak mematuhi perintah penguasa. Meskipun enam bulan kemudian ia dibebaskan, masalah tersebut belum juga reda karena anggota-anggota dewan yang lain menebar fitnah menghasilkan tambahan hukuman penjara lima bulan pada tahun 1320 M. Ia dipenjarakan kembali setelah lima tahun mereguk kebebasan dengan kegiatan mengajar dan menulis. Penyebab yang pokok adalah fatwa-fatwanya tentang larangan berziarah kubur. Dewan hakim diminta bersidang oleh sultan. Keputusan mereka adalah memenjarakan Ibn Taimiyah yang kemudia wafat dalam penjara itu pada tanggal 26 September 1328 M dalam usia 67 tahun. Wafat ibn Taimiyah disambut dengan derai air mata ratusan ribu para pendukungnya. Mereka menghantar jenazahnya ke pemakaman.
Selanjutnya akan dilihat bagaimana metodologi berpikir Ibn Taimiyah. Seperti telah disampaikan dimuka bahwa Ibn Taimiyah adalah figur ulama yang dikagumi sekaligus dibenci. Ia amat disanjung oleh para pendukungnya sebagai seorang wali. Misalnya yang dikatakan oleh al-Dzahabi, salah seorang murid Ibn Taimiyah : “andaikan aku harus bersumpah tentang sosok paling suci di segala tempat, aku akan mengatakan bahwa  tak seorang pun yang pernah kulihat mempunyai pribaadi melebihi dirnya. Demikian pula yang dikatakan oleh al-Subhi, pengikutnya yang lain dengan mengatakan bahwa siapa saja yang melontarkan kritik terhadap Ibn Taimiyah dianggapnya sebagai suatu kebodohan dan distorsi yang disengaja. Tetapi di sisi lain Ibn Taimiyah banyak mendapat tuduhan keji dari para penentangnya. Antara lain dari al-Haitami yang menganggapnya sebagai tukang penabur bid’ah dan fitnah seraya menyerukan agar orang tidak melakukan shalat dibelakangnya.
Dasar pijakan pendekatan yuridis Ibn Taimiyah adalah mazhab Hambali. Mazhab ini ditandai dengan ketundukan yang tegas kepada teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Di samping merekomendasikan kepercayaan penuh terhadap mazhab Hambali karena dianggap sejalan atau dekat dengan teks-teks kitab suci, ia juga memperingatkan agar orang tidak bertaklid buta pada satu mazhab tertentu, termasuk kepada mazhab Hambali. Jadi menurut Ibn Taimiyah satu-satunya mazhab atau aliran keagamaan yang benar adalah Mazhab Nabi Muhammad,sedang mazhab-mazhab lain mempunyai kedudukan di bawah mazhab nabi. Betapapun demikian, tidak ada salahnya jika seseorang berafiliasi pada satu mazhab tertentu jika ia tidak mampu memahami syariah dengan upayanya sendiri.
Prestasi paling besar yang dihasilkan oleh Ibn Taimiyah barang kali adalah pembukaan kembali pintu ijtihad setelah umat Islam terbuai dengan metode taklid. Hal tersebut sangat kentara pada aspek pembaharuan dan polemiknya yang ditopang oleh keyakinannya untuk kembali pada sumber-sumber agama yang asli dengan mengesampingkan sumber-sumber lain betapapun dianggap amat atoritatif. Sumber-sumber yang lain itu tidak menutup kemungkinan bagi adanya bantahan tanpa menghiraukan akibatnya. Dengan sikap tegas itulah dapat dipahami hingga Ibn Taimiyah dijebloskan ke penjara sebanyak enam kali. Selanjutnya akan dicermati beberapa usaha pembaharuannya.
Pada tahun 1298 M penduduk kota Hamah di Syria meminta pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang tertera dalam al-Qur’an. Untuk masalah ini ibn Taimiyah mengambil posisi tengah antara sikap yang meniadakan sifat-sifat Allah dan aliran anthropomorphisme. Sikap ini mencerminkan upayanya untuk menegaskan semua sifat seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Namun, ia tidak menyamakan sifat-sifat itu dengan sifat-sifat manusia.
Pada tahun 1318 M, fatwa Ibn Taimiyah yang lain memaksanya terjebak dalam debat yang lebih panas. Atas perintah al-Malik al-Nashir ia dilarang untuk mengeluarkan fatwa tentang masalah-masalah yang kontroversial. Masalah yang cukup hangat saat itu adalah perceraian. Menjelang wafat Ibn Taimiyah mengeluarkan pernyataan lain yang kontroversial. Yakni fatwa tentang ziarah kubur.    

Tidak ada komentar: