Jika tidak hati-hati, filsafat bisa membawa dampak buruk bagi
pemikiran Islam. Laksana obat, kadar dan cara penggunaannya harus
tepat. Jika keliru, bisa berdampak negative. Sebut saja, misalnya,
filsafat posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir ini, filsafat
posmodernis Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam arus
pemikiran Islam dan filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat
ini seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat
dilihat dari beberapa karya tulis yang terhasil dari tangan para
cendikiawan dan pemikir negeri ini. Beberapa karya besar dari
tokoh-tokoh posmodernis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan
Paul Ricour sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab.
Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah Archeology of Knowledge diterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-Istishrāq. Hafriyat disini bermaksud archeology,
sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Foucault dalam upayanya
membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati Barat. Karya
lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things.
Kehadiran Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh
Zawawi Bughurah dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001)
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup
signifikan dalam pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di
jelaskan oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr al-‘Arabi ‘ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal 159- 199)
Di
antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan
filsafat pos-modernisme, mungkin Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan
Mohammad Arkoun (2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair,
berada di garda depan. Kentalnya nuansa pos-modernisme dalam pikiran
mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang mereka hasilkan. Disana
kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang disadur
dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti
Michel Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-nya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi,
yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sejarah
Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme
berpikir yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang
dilakukan Foucault terhadap peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme,
upaya ini disebut dengan genealogy masih merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault.
Dalam
upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide
dari Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri
menyebut episteme ini dengan ‘aql atau al-nizam al-ma‘rifi.
Jadi ‘aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia untuk berpikir atau
berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih
merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya
Arab kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi episteme
Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations
that unite, at a given period, the discursive practices that give rise
to epistemological figures, sciences, and possibly formalized systems…” (Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep
epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya
adalah jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur
epsitemologinya, Arkoun membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik,
Pertengahan, dan modern). Meski demikian, baik Jabiri maupun Arkoun
keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam didominasi oleh nalar
abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani.
Relasi Ilmu-Kuasa
Salah
satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini
adalah persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan
konsep ini untuk membaca sepak terjang para orientalis. Said
berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak sepenuhnya di dasari
keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri
juga menggunakan framework yang sama ketika membaca sejarah panjang
intelektual Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani,
irfani, dan burhani diatas tidak terlepas dari faktor-faktor
sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode bayani
murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika
episteme ‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme ‘irfani ini
sendiri menurut Jabiri berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah
sebagai bagian dari strategi perang budaya mereka untuk merongrong
kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri menuduh
al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang
bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya
lewat pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu burhani.
Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir
bukan disebabkan kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi
disebabkan oleh adanya trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan
konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun
mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci
al-Qur’an. Arkoun mungkin intelektual Arab yang pertama membaca
al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini. Tokoh kelahiran Aljazair ini
menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia
melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini
merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan
kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak.
Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi yang
selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu.
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca warisan pemikiran Islam konsep logosphere
yang dikembangkan Arkoun, diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas
yang belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti
yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk
buku The Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu
inti ajaran postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap
otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi dari masa silam, norma-norma
kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak adanya kemapanan
(postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of
cultural certainties). Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap
otoritas akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis menganggap semua
orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi mereka semua orang sama,
berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau
termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam
tataran ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan
Wahyu. Prof Naquib Al-Attas dalam hal ini benar ketika menyatakan sistem
berpikir model skeptik seperti ini “is true only in the experience
and consciousness of civilizations whose system of thought and value
have been derived from cultural and philosophical elements aided the
science of their times.” (Prolegomena, 3). Wallau a’lam. (***)
Sumber : http://www.insistnet.com/
Sumber : http://www.insistnet.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar