Oleh: Adnin Armas
Harun Yahya dalam bukunya The Disasters Darwinism Brought to Humanity (Al-Attique
Publesher Inc.) menggambarkan berbagai bencana kemanusiaan yang ditimbulkan
oleh Darwinisme, di antaranya berupa rasisme dan kolonialisme. Ketika ilmu
dijauhkan dari tuntunan wahyu; ketika ilmu diabdikan untuk memenuhi hawa nafsu;
maka bencana kemanusian tak mungkin terhindarkan.
Peradaban Barat, menurut sejarawan Marvin Perry, ialah sebuah peradaban
besar sekaligus sebuah drama yang tragis(a tragic drama). Peradaban ini
penuh kontradiksi. Satu sisi ia memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan bagi kemudahan dan penyediaan fasilitas
hidup. Namun pada sisi lain peradaban ini juga memberikan kontribusi
besar terhadap kerusakan alam semestra (Marvin Perry, Western Civilization a
Brief History, 1997)
Di zaman modern ini pula manusia telah membelanjakan secara gila-gilaan
alat-alat pembunuh masal. Sekadar contoh, Jeremy Issacs dan Taylor Downing,
dalam bukunya, Cold War, memaparkan antara 1945-1996, sekitar 8 triliun
USD ($ 8.000.000.000.000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan di seluruh
dunia. Puncaknya, persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Padahal seluruh bom
yang diledakkan pada perang dunia II ‘hanya’ 6 megaton.
Dunia kedokteran modern mengenal paraktik vivisection (secara harfiah
berarti memotong hidup-hidup) yaitu cara menyiksa hewan hidup sebagai dorongan
bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala
jenis penyakit manusia (Pietro Croce, Vivisection or Science: An
Investigation into Testing Drugs and Safeguarding Health, 1999). Praktik
ini selain tidak beretika keilmuan juga “tidak berperikemanusiaan” juga
menyisakan pertanyaan intrinsik tentang asumsi atas tingkat kesamaan uji
laboratorium hewan dan manusia yang mengesahkan eksplorasi hasil klinis dari
satu ke lainnya.
Dalam dunia pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia seperti
pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintesis dan lainnya telah meracuni bumi,
membunuh kehidupan margasatwa bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu
kesehatan para petani. Pertanian yang sebelumnya dikenal dengan sebutan
agrikultur (kultur: suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal,
dan kooperatif, bukan kompetitif) kini berkembang dengan istilah agribisnis,
sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan
dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga
diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah mereka sendiri (Adi
Setia, Three Meanings of Islamization Science Toward Operasionalizing
Islamization of Knowledge, 2007)
Ketika wahyu disingkirkan maka akal dituhankan. Rasionalisme menjadi
pedoman. Gagasan rasionalisasi dapat ditelusuri dari seorang bernama Rene
Descartes (w. 1650). Ia digelari sebagai bapak filsafat modern. Dia lah
orangnya yang memformulsikan sebuah prinsip: cogito ergo sum (aku
berpikir maka aku ada). Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan
rasio tapi juga mengakui eksistensi seseorang hanya bagi mereka yang
menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.
Pendapat Descartes bahwa sumber ilmu adalah rasio dan panca indera
diikuti oleh para filosof lain seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John
Locke, JJ Rousseau, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Bertrand Russel, Emilio
Betti, Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Selanjutnya pendapat ini
melahirkan pembaratan (westernisasi) yang menekankan dasar ilmu pengetahuan
adalah rasio dan panca indera.
Pendapat ini makin membuat peran akal menguat sehingga menafikan peran wahyu
dan melahirkan ide-ide atheis. Immanuel Kant menyatakan bahwa segala hal yang
berbau metafisika tidak mungkin mencapai kebenaran karena tidak disandarkan
kepada panca indera. Menurut Kant di dalam metafisika tidak terdapat
pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada dalam
matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berasar fakta empiris (Justus Harnack,
Kant’s Theory of Knowledge , 1968, hal 142-145).
Ide Kant ini berpengaruh pada filosof lain, di antaranya Hegel yang
melahirkan filsafat dialektika, tesis-antitesis. Intinya, pengetahuan itu
selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai, disangkal atau didebat untuk
melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan
sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal
(tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Ide ini
kemudian melahirkan paham atheisme yang diusung oleh Ludwig Feurbach
(1804-1872) dan Karl Marx (w. 1883) Marx berpendapat bahwa agama adalah candu.
Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi (Franz
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, 2001, hal 71-76).
Selain Karl Marx, ilmuwan barat yang berpengaruh luas dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (w. 1882). Ia menulis sebuah buku yang
berjudul The Origin of Species yang menyatakan bahwa Tuhan tidak
berperan dalam penciptaan. Makhluk hidup dapat hidup dan bertahan karena faktor
adaptasi pada lingkungan. Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup.
Semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Spesies menjadi berbeda antara satu dengan yang lain disebabkan karena
kondisi-kondisi alam (natural condition) (Charles Darwin, The Origin
of Species, 1985, hal 437).
Lalu berbagai disiplin ilmu lain yang atheistik juga bermunculan. Bidang
psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Lucunya,
psikologi modern, justru menjauhkan ilmu itu dari objek kajian utamanya, yaitu
“jiwa” manusia itu sendiri. Dalam bidang sosiologi, positivisme August Comte
berhasil menggusur peran agama. Di bidang politik,, Machiavelli mneggulirkan
politik tanpa moral. Bahwa politik adalah sekedar mekanisme untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan. Di lapangan filsafat ada Friedrich Nietzche
(1884-1990) dengan semboyannya “God is dead”.
Dalam bukunya, A History of God (1993), Karen Armstrong menulis
sebuah bab berjudul “Does God have a Future ?”
Di Barat, gugatan terhadap eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan, terus
dikumandangkan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) bertahan dengan pendapatnya, “even
if God existed, it was still necessary to reject him, since the idea of God
negates our freedom”.
Jadi, ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja
kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan, agar kebebasan kita tak terganggu;
agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, Al-Qur’an justru
menjelaskan: “ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).
Sumber : http://insistnet.com/ketika-tuhan-disingkirkan/